Membuka Pintu Pemahaman Teori Kognitivisme: Saatnya Anak SD Tidak Hanya Menghafal, tetapi Memahami!
Tangsel | 2025-12-16 07:48:34Membuka Pintu Pemahaman Teori Kognitivisme: Saatnya Anak SD Tidak Hanya Menghafal, tetapi Memahami!
Oleh: Naely Rifngati Zahroh & Sri Wahyuni
Teori kognitivisme kini menjadi salah satu pendekatan pembelajaran yang semakin menonjol dalam dunia pendidikan modern, terutama di tingkat sekolah dasar. Selama bertahun-tahun, pendidikan di Indonesia banyak bergantung pada metode hafalan sebagai ukuran keberhasilan belajar. Meski hafalan memiliki peran tertentu, pendekatan ini kerap membatasi kemampuan berpikir anak. Mereka mungkin mengingat, tetapi belum tentu memahami. Di sinilah kognitivisme hadir sebagai angin segar bagi perubahan.
Pendekatan kognitivisme menekankan bagaimana anak memahami, mengolah, mengorganisasi, dan mengaitkan informasi dengan pengalaman mereka. Belajar bukan lagi sekadar mengisi ingatan, tetapi proses aktif yang melibatkan rasa ingin tahu dan penalaran. Di ruang kelas yang menerapkan prinsip kognitivisme, pertanyaan seperti “mengapa?” atau “bagaimana ini bisa terjadi?” menjadi jembatan bagi anak untuk membangun pemahaman yang lebih dalam. Guru tidak hanya menjelaskan, tetapi memfasilitasi anak untuk menemukan makna dari apa yang mereka pelajari.
Lingkungan belajar yang mengacu pada teori ini sangat menghargai eksplorasi. Anak diberi kesempatan untuk bertanya, mencoba, mengamati, dan menghubungkan konsep dengan pengalaman sehari-hari. Misalnya, ketika mempelajari pecahan, anak tidak cukup hanya melihat angka atau gambar di buku. Mereka perlu membagi kue, menyusun blok, atau memotong kertas agar konsep abstrak berubah menjadi pengalaman konkret. Dengan cara ini, anak tidak hanya tahu apa itu pecahan, tetapi benar-benar memahami bagaimana pecahan bekerja dalam kehidupan.
Media pembelajaran visual juga menjadi elemen penting dalam penerapan kognitivisme. Gambar ilustratif, video animasi, grafik, hingga objek konkret membantu anak sekolah dasar memahami konsep kompleks secara lebih mudah. Saat mempelajari sistem pernapasan, misalnya, visualisasi organ tubuh membuat anak mampu melihat proses masuk dan keluarnya udara tanpa harus menghafal urutannya. Media visual membantu anak “melihat” konsep yang sebelumnya hanya dibayangkan. Lebih jauh, pendekatan ini membantu anak mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan logis. Di era modern yang penuh dengan informasi, anak tidak hanya memerlukan kemampuan mengingat, tetapi juga kemampuan memilah, menganalisis, dan menyimpulkan. Kognitivisme melatih anak untuk menghubungkan informasi, memahami pola, dan menarik makna dari setiap pembelajaran. Anak yang terbiasa memahami konsep akan lebih mudah menerima materi baru karena struktur berpikirnya telah terlatih.
Peran keluarga juga sangat penting dalam mendukung pola belajar ini. Orang tua dapat membantu anak dengan mengajukan pertanyaan pemicu, mendengarkan penjelasan anak, atau menghubungkan pelajaran sekolah dengan aktivitas rumah. Mengukur panjang meja, menghitung uang belanja, atau melihat perubahan wujud es menjadi air adalah contoh sederhana yang dapat memperkuat pemahaman konsep secara nyata. Dukungan orang tua dan lingkungan sekitar memperkaya pengalaman belajar anak sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, evaluasi pembelajaran juga perlu berubah. Kognitivisme tidak tepat jika hanya dievaluasi melalui tes hafalan atau pilihan ganda. Penilaian yang lebih komprehensif seperti proyek, demonstrasi, portofolio, dan presentasi dapat menunjukkan kemampuan anak secara lebih nyata. Evaluasi yang variatif juga memberi kesempatan bagi anak untuk menunjukkan proses berpikirnya, bukan hanya hasil akhir yang berupa angka.Pendekatan kognitivisme juga selaras dengan pandangan Piaget: “tentang perkembangan kognitif anak, yaitu proses assimilation dan accommodation.” Anak tidak hanya menambahkan informasi baru ke dalam pikirannya, tetapi juga menyesuaikan dan memperluas struktur pengetahuan mereka.
Misalnya, ketika anak mengetahui bahwa air berubah menjadi es saat dibekukan, mereka sedang melakukan proses akomodasi dan membangun pemahaman ilmiah tentang perubahan wujud benda. Sekolah dasar adalah tempat paling strategis untuk menerapkan pendekatan ini. Pada usia ini, anak sedang berada pada fase pertumbuhan kognitif yang sangat pesat. Mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan siap menerima pengalaman baru. Ketika pembelajaran didesain untuk melibatkan mereka secara aktif, anak tidak hanya menjadi pendengar tetapi menjadi pelaku utama dalam proses belajar.
Dalam jangka panjang, pembelajaran berbasis pemahaman dapat membentuk kebiasaan belajar yang lebih kuat dan bertahan hingga dewasa. Anak terbiasa berpikir mandiri, memecahkan masalah, dan mencari alasan di balik setiap informasi. Mereka tumbuh menjadi generasi yang mampu memahami dunia dengan cara yang lebih luas, kreatif, dan kritis. Pada akhirnya, penerapan teori kognitivisme bukan sekadar metode pembelajaran, tetapi merupakan langkah besar dalam menciptakan pendidikan yang lebih manusiawi dan bermakna. Pendidikan tidak lagi hanya bertujuan mencetak anak yang pintar menghafal, tetapi anak yang mampu berpikir, memahami, dan mengaitkan setiap pembelajaran dengan kehidupan. Dengan pendekatan ini, kita membuka pintu bagi generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga mampu menghadapi tantangan masa depan dengan pemahaman yang mendalam.
Daftar PustakaArends, R. (2012). Learning to Teach. McGraw-Hill.Bruning, R. H., Schraw, G. J., & Norby, M. M. (2011). Cognitive Psychology and Instruction. Pearson.Slavin, R. E. (2018). Educational Psychology: Theory and Practice. Pearson.Piaget, J. (1973). To Understand Is to Invent: The Future of Education. Grossman.Santrock, J. W. (2019). Educational Psychology. McGraw-Hill.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
