Ketika Pekerja Digital Bekerja Tanpa Jaring Pengaman Sosial
Teknologi | 2025-12-14 21:35:29Perkembangan teknologi digital telah menciptakan lanskap kerja baru di Indonesia. Aplikasi transportasi, platform pengantaran makanan, marketplace, hingga berbagai layanan berbasis daring membuka peluang kerja yang fleksibel dan relatif mudah diakses. Bagi banyak orang, kerja digital menjadi jalan keluar di tengah keterbatasan lapangan kerja formal. Namun, di balik fleksibilitas itu, tersimpan persoalan mendasar yang kerap luput dari perhatian: absennya perlindungan sosial bagi para pekerja digital.
Pekerja digital—mulai dari pengemudi ojek online, kurir, hingga pekerja lepas berbasis platform—sering kali tidak diposisikan sebagai pekerja formal. Mereka disebut mitra, bukan karyawan. Konsekuensinya jelas: tidak ada jaminan kesehatan, perlindungan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, maupun kepastian pendapatan. Hubungan kerja menjadi cair, tetapi tanggung jawab perlindungan justru menguap.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah pekerja di sektor informal masih mendominasi struktur ketenagakerjaan Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian dari sektor informal tersebut bertransformasi ke ranah digital. Namun, perubahan medium kerja tidak serta-merta diikuti oleh peningkatan perlindungan. Pekerja tetap berada dalam posisi rentan, hanya dengan wajah teknologi yang lebih modern.
Fleksibilitas sering dipromosikan sebagai keunggulan utama kerja digital. Pekerja bebas menentukan waktu kerja dan memilih pesanan. Namun, fleksibilitas ini kerap bersifat semu. Algoritma platform secara tidak langsung mengatur ritme kerja melalui sistem insentif, penilaian pelanggan, dan target tertentu. Untuk memperoleh penghasilan layak, pekerja dipaksa bekerja lebih lama, mengambil lebih banyak order, dan menerima risiko yang lebih besar.
Di sinilah muncul paradoks ekonomi digital. Di satu sisi, platform menikmati efisiensi dan pertumbuhan pesat. Di sisi lain, risiko kerja—mulai dari kecelakaan, kesehatan, hingga ketidakpastian pendapatan—sepenuhnya ditanggung individu. Ketika terjadi kecelakaan atau penurunan permintaan, pekerja tidak memiliki jaring pengaman yang memadai.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dalam sejumlah laporannya menyoroti fenomena global ini. Pekerja platform di banyak negara menghadapi ketidakpastian status kerja dan minim perlindungan sosial. Indonesia tidak berdiri sendiri dalam persoalan ini. Namun, dengan jumlah penduduk usia produktif yang besar, dampaknya bisa jauh lebih luas jika tidak ditangani dengan serius.
Persoalan ini tidak bisa dilihat semata-mata sebagai pilihan individu. Banyak pekerja digital masuk ke sektor ini bukan karena preferensi, melainkan keterbatasan alternatif. Di tengah tekanan ekonomi dan terbatasnya lapangan kerja formal, platform digital menjadi ruang bertahan. Tanpa perlindungan yang memadai, kerentanan ekonomi rumah tangga pun meningkat.
Pemerintah sebenarnya telah mulai merespons isu ini melalui berbagai diskusi kebijakan dan perluasan program jaminan sosial. Namun, tantangan utama terletak pada kerangka regulasi yang belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan model kerja digital. Klasifikasi pekerja sebagai mitra sering kali membuat perlindungan sosial berada di wilayah abu-abu.
Di sisi lain, platform digital juga memiliki tanggung jawab sosial yang tidak bisa diabaikan. Pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan seharusnya berjalan seiring dengan perlindungan terhadap ekosistem kerjanya. Tanpa pekerja yang sehat, aman, dan terlindungi, ekonomi digital justru berdiri di atas fondasi yang rapuh.
Ke depan, tantangan utama bukan menolak teknologi, melainkan memastikan bahwa inovasi berjalan seiring dengan keadilan sosial. Kerja digital perlu dipandang sebagai bagian dari sistem ketenagakerjaan nasional, bukan entitas terpisah yang bebas dari kewajiban perlindungan. Skema jaminan sosial yang adaptif, regulasi yang responsif, dan dialog antara pemerintah, platform, serta pekerja menjadi kunci.
Ekonomi digital seharusnya membuka jalan menuju kesejahteraan yang lebih luas, bukan menciptakan bentuk baru dari kerentanan kerja. Jika jutaan pekerja digital terus bekerja tanpa jaring pengaman sosial, maka kemajuan teknologi justru berisiko meninggalkan luka sosial di balik layar aplikasi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
