Menjaga Nalar di Tengah Bisingnya Dunia Digital
Teknologi | 2025-12-14 15:15:10Dalam beberapa tahun terakhir, dunia digital bergerak begitu cepat hingga sering kali membuat kita lupa bahwa manusia memiliki kapasitas unik bernama nalar. Ruang-ruang digital dipenuhi opini, klaim, dan pernyataan yang berseliweran tanpa henti. Masyarakat sering dipaksa menerima informasi secara instan, tanpa jeda untuk bertanya atau sekadar memeriksa apakah sesuatu itu benar adanya.
Sebagai mahasiswa yang hidup berdampingan dengan arus informasi tersebut, saya sering mendapati diri berada dalam posisi serba ragu. Notifikasi media sosial, berita yang sensasional, hingga komentar-komentar liar membuat batas antara fakta dan opini menjadi semakin kabur. Di tengah kebisingan itu, kemampuan berpikir kritis sebenarnya bukan hanya kompetensi akademik, tetapi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pengalaman pribadi saya ketika mengikuti diskusi kelas Logika dan Pemikiran Kritis membuka mata bahwa berpikir logis bukan hanya sekadar memecahkan suatu masalah, tetapi membangun kebiasaan mental. Misalnya, keterampilan sederhana seperti memeriksa sumber informasi, mempertanyakan generalisasi berlebihan, atau menghindari asumsi tanpa dasar semuanya berperan penting ketika menghadapi fenomena digital yang rentan menyesatkan.
Namun, tantangan terbesar bukan hanya kualitas informasi, tetapi kecepatan penyebarannya. Ketika sebuah klaim viral lebih cepat daripada klarifikasi, publik sering terjebak dalam opini yang belum tentu benar. Inilah titik ketika literasi berpikir kritis menjadi penting sebagai pagar nalar: agar seseorang tidak mudah terseret arus, dan tetap memiliki pijakan dalam menilai kebenaran.
Di sisi lain, dunia digital juga memberikan ruang bagi suara-suara baru untuk berbicara. Mahasiswa, misalnya, dapat menyampaikan gagasan dan pandangannya kepada publik melalui media massa, kolom opini, maupun platform online. Kesempatan inilah yang perlu dimanfaatkan secara bijak. Selain sebagai latihan intelektual, kontribusi tulisan menjadi cara membangun budaya dialog yang sehat.
Kita tidak bisa sepenuhnya menghentikan derasnya arus informasi, tetapi kita bisa memilih bagaimana meresponsnya. Menjaga kewarasan berpikir bukan berarti menolak perbedaan pendapat, melainkan memastikan bahwa setiap pendapat yang kita ambil lahir dari pertimbangan yang masuk akal. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga penalar yang aktif.
Pada akhirnya, kemampuan berpikir kritis adalah bentuk tanggung jawab moral. Dunia digital membutuhkan lebih banyak manusia yang mampu menimbang, bukan hanya menelan. Jika setiap individu mulai dari dirinya sendiri, maka ruang publik kita bisa menjadi lebih sehat, lebih rasional, dan lebih manusiawi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
