Era AI dan Kekosongan Makna dalam Diskusi Pendidikan
Eduaksi | 2025-11-26 15:33:49
Ketika Pertanyaan dan Jawaban Tidak Lagi Lahir dari Nalar Manusia
Di banyak kelas hari ini, diskusi berubah menjadi sesuatu yang janggal. Seorang mahasiswa mengajukan pertanyaan panjang yang diambil mentah-mentah dari AI. Pemateri di depan menjawabnya dengan presentasi yang juga disiapkan mesin. Yang terjadi bukan lagi percakapan antar manusia, tetapi percakapan dua mesin yang kebetulan disuarakan manusia.
Ruang diskusi yang seharusnya menjadi tempat berpikir bersama berubah menjadi perantara pesan digital. AI menuliskan pertanyaan. AI menuliskan jawaban. Manusia hanya membacakan. Yang hilang bukan sekadar dinamika kelas, melainkan inti dari belajar itu sendiri: proses bernalar.
Dalam tradisi masyarakat kita, ilmu dipandang sebagai cahaya dan belajar adalah ibadah. Proses belajar menuntut kesungguhan, kejujuran intelektual, dan kemauan memahami. Namun ketika AI digunakan tanpa refleksi, yang memudar bukan teknologi, tetapi makna moral dan spiritual dari pencarian ilmu.
Penelitian Hanifah et al. (2024) menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa kini menggunakan AI dalam belajar. Banyak yang merasa lebih efisien, namun sebagian kehilangan motivasi belajar mandiri. AI tidak membuat manusia malas. AI hanya membuka kenyataan bahwa budaya belajar kita belum terbiasa berpikir mendalam.
Sejak bangku sekolah, kita dibiasakan mengejar jawaban cepat, bukan memahami alasan di balik pertanyaan. Maka ketika AI hadir, kebiasaan lama itu menemukan mesin yang memberikan semua jawaban dalam hitungan detik tanpa memaksa kita bernalar.
AI Bisa Menguatkan Akal, Jika Manusianya Tetap Memimpin
Studi Aprianto et al. (2025) menunjukkan bahwa AI dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis jika digunakan secara terarah. Artinya, AI bukan ancaman. AI adalah alat. Namun alat hanya bermanfaat jika manusianya memegang kendali nalar.
Sayangnya, banyak pendidik belum siap menghadapi perubahan ini. Ada yang menolak AI, ada yang menerima tanpa memahami etika penggunaannya. Literasi digital guru dan dosen sangat menentukan arah penggunaan AI dalam pembelajaran.
Studi Fakhri et al. (2024) menunjukkan bahwa pelatihan etika dan literasi AI dapat mengubah sikap guru menjadi lebih positif dan menumbuhkan proses pembelajaran yang lebih bernalar. Ini menegaskan bahwa manusia tetap menjadi penentu kualitas nalar, bukan mesin.
Budaya Bertanya yang Melemah
Pendekatan Inquiry Based Learning dalam Kurikulum Merdeka sebenarnya ingin menghidupkan kembali budaya bertanya. Namun di banyak sekolah, metode ini berhenti pada formalitas. Diskusi tetap dangkal, argumen tidak diuji, dan logika tidak ditantang.
Studi Akib et al. (2024) membuktikan bahwa penilaian autentik melalui proyek nyata dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Siswa mampu bernalar asalkan diberi ruang untuk membangun pemahaman.
AI dapat membantu di titik ini. Guru dapat menggunakannya untuk membandingkan jawaban, memeriksa bias, atau membongkar asumsi. Namun AI tidak boleh menggantikan proses berpikir manusia itu sendiri.
Menata Ulang Makna Belajar
Pendidikan bukan perlombaan siapa paling cepat menjawab. Pendidikan adalah perjalanan memahami makna. Dalam tradisi keilmuan kita, belajar mengandung amanah, tanggung jawab, dan ketulusan. Teknologi seharusnya memperkuat nilai itu, bukan mengikisnya.
Karena itu ekosistem pembelajaran perlu ditata ulang. Pelatihan guru harus memasukkan etika AI dan pembelajaran berbasis inkuiri sebagai bagian inti. Diskusi perlu dibangun kembali sebagai dialog antar manusia, bukan sesi tanya jawab antar mesin.
Jika tidak, kita berisiko melahirkan generasi yang mahir memakai AI tetapi tidak mampu bernalar tanpa AI. Lebih dalam lagi, kita kehilangan roh dari proses mencari ilmu itu sendiri.
Belajar adalah ibadah. Mesin dapat membantu, tetapi hati dan akal manusialah yang harus tetap memimpin.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
