Tips Menghindari Logical Fallacy Saat Berdebat di Kelas
Edukasi | 2025-11-30 22:21:59
Ruang kelas semestinya menjadi sebuah tempat yang baik untuk menuntut ilmu, berpikir kritis, dan bertukar ide ataupun gagasan. Namun kenyataannya saat berdiskusi di kelas, para mahasiswa seringkali terjebak dalam argumen opini yang emosional. Alih-alih menghasilkan dialog yang substansial, perdebatan justru dipenuhi kesalahan penalaran atau logical fallacy yang membuat argumen tampak kuat namun nyatanya argumen tersebut “kosong” alias kurang berbobot pada isu yang sedang dibahas. Hal ini bukan sekedar debat semata, melainkan memperlihatkan bahwa kemampuan kita dalam berpikir logis sering kali diuji dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena tersebut menunjukan tantangan besar “apakah kita mampu berpikir kritis dalam menghadapi berbagai persoalan dalam sehari-hari?”.
Agar diskusi di kelas mencerminkan praktik penalaran yang sehat, mahasiswa perlu menghindari berbagai logical fallacy dengan memahami struktur argumen, mengendalikan bias personal, dan memegang prinsip objektif. Pembiasaan ini akan membentuk kecermatan analitis yang tak hanya penting dalam berdiskusi dan berdebat tetapi juga menjadi fondasi dalam praktik di berbagai forum.
Cara Menghindari Logical Fallacy
Untuk menghindari logical fallacy kita perlu menyadari bahwa kesalahan penalaran berpotensi melemahkan argumen, kecuali jika setiap informasi didukung oleh bukti yang kuat. Oleh karena itu penguasaan terhadap apa yang hendak disampaikan mulai dari pengertiannya, alasan yang mendasari, hingga bukti pendukung menjadi langkah penting untuk menghasilkan argumentasi yang relevan.
1. Menempatkan Tujuan Debat Sebagai Upaya Mencari Kebenaran Bukan Memenangkan Argumen
Salah satu akar masalah dalam perdebatan mahasiswa adalah perubahan orientasi. Ketika berdebat dianggap sebagai sebuah kompetisi, banyak mahasiswa lebih sibuk mematahkan lawan bicara daripada membangun argumen yang bermutu. Sikap ini membuka ruang luas bagi berbagai logical fallacy seperti appeal to emotion, ad hominem, hingga false dilemma.
Dalam bidang akademik debat merupakan proses kolaboratif untuk menguji gagasan, sebuah argumen yang kuat dihasilkan bukan dari keinginan mengalahkan orang lain melainkan usaha untuk memahami dan mengolah ide.
Menyadari tujuan ini dapat mengubah cara mahasiswa berdebat. Alih-alih terpancing emosional, mereka lebih fokus membangun argumen yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu hal ini dapat menjadi fondasi penting untuk menghindari logical fallacy.
2. Menghindari Ad Hominem: Menilai Argumen Berdasarkan Isi, Bukan Identitas Penuturnya
Ad Hominem adalah kesalahan nalar yang menyerang kompetensi penutur sebagai upaya dalam melemahkan argumen. Kesalahan ini muncul karena manusia secara alamiah cenderung menilai orang terlebih dahulu sebelum menilai ide. Ad Hominem sering muncul dalam bentuk halus seperti “Wajar kamu berpikir seperti itu, kamu kan belum mengerti teori utamanya” padahal kualitas argumen tetap dapat dinilai meski penuturnya memiliki kekurangan tertentu
Mahasiswa bisa membiasakan diri dengan menggunakan pola kalimat seperti:
“Kesimpulan tersebut tidak mengikuti premis sebelumnya”
Kebiasaan ini mengarahkan debat pada substansinya bukan personalitas
3. Menghindari Strawman: Menanggapi Argumen Lawan Secara Utuh dan Akurat
Fallacy Strawman sering terjadi ketika seseorang mencoba menyederhanakan argumen seperti memutar atau membesarkan argumen lawan agar nampak lebih mudah diserang. Saat berdebat di kelas, fallacy ini muncul ketika mahasiswa gagal memahami konteks dan terburu-buru mengambil kesimpulan.
Contohnya:
X: “Menurut saya kebijakan ini perlu untuk dievaluasi kembali.”
Y: “Jadi kamu setuju kebijakannya dihapus?”
Penyimpangan argumen seperti ini dapat membuat diskusi keluar dari konteks yang sedang dibahas dan hilang arah. Menghindari hal tersebut diperlukan teknik paraphrasing yaitu mengulang esensi argumen lawan dengan bahasa sendiri untuk memastikan pemahaman. Teknik sederhana ini dapat meningkatkan kualitas dialog dan meminimalisir salah penafsiran.
4. Menahan Diri dari Bandwagon Effect: Tidak Menyimpulkan Sesuatu Hanya karena Menjadi Pendapat Mayoritas Forum
Bandwagon Effect adalah kecenderungan mengikuti pendapat orang lain karena merasa jawaban tersebut “aman” atau bisa dibilang fomo. Opini mayoritas seringkali dianggap sebagai bentuk petunjuk kebenaran padahal validitas argumen tidak ditentukan oleh jumlah orang yang setuju akan pendapat tersebut melainkan kekuatan dari logika itu sendiri.
Fenomena ini berbahaya dalam pembentukan pola pikir mahasiswa karena mahasiswa seringkali merasa opini tersebut benar padahal hal tersebut akan membuat mereka terbiasa mengikuti arus tanpa evaluasi, mereka akan kehilangan kemampuan berpikir secara mandiri yang berakibat pada proses intelektual menjadi pasif dan ruang diskusi menjadi minim prespektif.
Untuk menghindari hal ini mahasiswa dapat menilai argumen berdasarkan premis dan logika. Pertanyaan secara reflektif seperti “Apakah saya tetap akan berpendapat seperti ini jika mayoritas tidak mendukung?” dapat membantu untuk menjaga objektivitas. Dengan latihan sederhana seperti menulis argumen secara struktural kemudian membaca kembali tanpa mempertimbangkan siapa yang akan mendukung ataupun menyangkal argumen tersebut.
5. Menggunakan Struktur Penalaran yang Sistematis: Menyusun Argumen dengan Silogisme dan Logika Dasar
Menggunakan silogisme dasar dapat membantu mencegah argumen yang tidak relevan ataupun kesimpulan yang terlalu jauh. Silogisme terdiri dari tiga komponen:
Premis mayor (pernyataan umum)
Premis minor (pernyataan khusus)
Kesimpulan (hasil logis dari dua premis sebelumnya)
Contoh:
Premis mayor: “Semua kebijakan publik harus dirumuskan berdasarkan data.”
Premis minor: “Kebijakan X tidak didukung oleh data empiris”
Kesimpulan: “Maka kebijakan X tidak memenuhi kriteria kebijakan publik yang baik”
Dengan struktur seperti ini dapat memudahkan mahasiswa untuk terhindari dari kesimpulan yang tidak mengikuti premis.
Menghindari logical fallacy bukan hanya tentang meningkatkan kualitas argumen namun membangun budaya berpikir kritis yang sehat di lingkup akademik. Diskusi kelas menjadi bebas dari kesalahan nalar hal tersebut yang memungkinkan mahasiswa bertumbuh sebagai individu objektif dan berani mempertanggungjawabkan gagasan mereka. Di luar kelas kemampuan ini akan berpengaruh pada cara mereka mengambil keputusan, membaca situasi sosial, dan menilai informasi secara objektif. Dengan memahami dan menghindari logical fallacy, mahasiswa dapat berperan aktif menciptakan diskusi yang lebih bermakna dan membantu merancang argumen yang objektif
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
