Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Arifin

Sejak Kapan Kekerasan Disebut Disiplin? Paradigma Baru Pendidikan Jawa Barat

Pendidikan | 2025-12-14 13:28:46
Lorong sekolah yang kosong ini menciptakan suasana dingin, sepi. Ini bisa merepresentasikan kehampaan emosional yang dirasakan siswa ketika pendidikan berubah menjadi tempat menakutkan, bukan tempat tumbuh.

Di sebuah SMA di Jawa Barat, suasana kelas XI-MIPA 3 seketika menjadi hening. Seorang siswa berdiri di depan, wajahnya merah setelah tamparan buku Atlas mendarat keras di pipinya. Kesalahannya? Ia terlalu asyik bermain gadget dan bercanda saat pelajaran berlangsung.

Ketika ditegur, jawabannya terdengar menantang "Itu bukan urusan Bapak. Ini privasi saya!" Guru itu percaya ia sedang menegakkan disiplin. Siswa itu pulang dengan wajah bengkak dan pertanyaan yang tak kunjung hilang Kapan pendidikan berubah menjadi hukuman fisik?

Anekdot ini bukan fiksi, dan bukan pula kasus tunggal tapi sepenggal kasus kekerasan dengan dalih kedispilnan yang terjadi di dunia pendidikan yang mengguncang jagat media sosial, kasus-kasus yang viral membuat publik bertanya: Sejak kapan pendidikan identik akan rasa sakit?

Ironisnya, praktik seperti ini bukanlah anomali. Ia telah menjadi budaya yang mengakar selama puluhan tahun, dinormalisasi oleh generasi sebelumnya, dan diwariskan seperti tradisi yang tak pernah dipertanyakan, semua demi mendisiplinkan siswa dengan cara yang instan.

Pada Oktober 2025, Pemerintah Provinsi Jawa Barat merespons dengan mengeluarkan Surat Edaran Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Nomor 158/PK.03/KESRA tentang Larangan Guru Memberikan Hukuman Fisik kepada Siswa, yang diterbitkan untuk mendorong pembentukan karakter positif di kalangan siswa.

Kebijakan ini muncul sebagai respons atas insiden di SMP Subang, ketika seorang guru menampar siswanya. Peristiwa itu memicu konflik antara murid, guru, dan orang tua, lalu menyebar luas di publik. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa hingga hari ini, cara lama seperti hukuman fisik sudah tidak sepatutnya lagi diterapkan dalam dunia pendidikan.

Sekretaris Daerah Jawa Barat, Herman Suryatman, menjelaskan bahwa sanksi terhadap siswa harus berorientasi pada pembelajaran yang mendidik, bukan sekadar hukuman. Ketika siswa melanggar aturan, guru tetap boleh memberi sanksi, tetapi dengan cara yang membangun tanggung jawab, seperti membersihkan kelas, membantu kegiatan sekolah, atau bentuk lain yang bersifat edukatif.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menegaskan bahwa larangan hukuman fisik memiliki dasar hukum yang kuat. Kekerasan terhadap siswa, sekecil apa pun, merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan sejati, yang bukan menakuti, tetapi menumbuhkan kesadaran dan pembelajaran sepanjang hayat.

Psikolog pendidikan Thomas Gordon pernah mengatakan, disiplin yang dipaksakan tidak menumbuhkan kedisiplinan sejati. Anak hanya menurut karena takut dihukum, bukan karena memahami makna tanggung jawab, dan pada akhirnya, tekanan semacam itu sering berbalik menjadi pemberontakan.

Pandangan itu sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara, yang menekankan pendidikan berbasis cinta kasih dan pembimbingan. Bagi beliau, tugas guru bukan menghukum, melainkan menuntun tumbuhnya potensi anak secara utuh, dengan hati, bukan dengan tangan yang mengayun.

Namun, kebijakan tanpa eksekusi matang hanyalah janji kosong. Guru-guru yang selama bertahun-tahun mengandalkan hukuman fisik untuk mendisiplinkan siswa tidak bisa langsung berubah. Mereka membutuhkan pelatihan untuk menemukan cara mendisiplinkan tanpa kekerasan. Tanpa dukungan itu, kebijakan ini hanya akan menjadi slogan di atas kertas, sementara di balik pintu kelas, kekerasan tetap berlangsung dengan dalih "untuk kebaikan siswa."

Mungkin inilah saatnya kita menulis ulang makna disiplin di sekolah: bukan soal takut pada guru, melainkan belajar bertanggung jawab pada diri sendiri. Karena sejatinya, pendidikan bukanlah ruang untuk menundukkan, melainkan untuk menumbuhkan. Di sanalah guru dan murid seharusnya berdiri sejajar, satu belajar mengajar, yang lain belajar menjadi manusia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image