Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dinda Aprisela

Ketimpangan Mutu Pendidikan: Mengapa Alamat Menentukan Masa Depan Anak

Pendidikan | 2025-12-11 01:47:23
https://share.google/zqWzDHEWJ5igKpnYD & https://share.google/YwONDkczbgfB14dOd

Di Indonesia, pendidikan idealnya menjadi jalan untuk meraih masa depan cerah bagi setiap anak, tapi fakta berkata lain. Di banyak daerah, kualitas pendidikan justru sangat bergantung pada alamat sekolah dan akses fasilitas, bukan pada potensi siswa. Anak-anak di kota besar sering mendapatkan akses mudah ke internet, perpustakaan, guru bersertifikasi, dan sarana pendidikan lainnya yang memadai. Sementara itu, di banyak pelosok, sekolah masih menghadapi kekurangan fasilitas dasar, akses internet terbatas, dan minim guru tetap. Ketika kesempatan belajar itu tidak setara, maka harapan untuk masa depan yang lebih baik pun surut sejak awal.

Saya memiliki pengalaman langsung lewat seorang guru di masa sekolah kejuruan dulu. Beliau diketahui lolos PNS, dan ditugaskan ke sebuah sekolah di pedalaman timur Indonesia, yang di mana akses internet dan fasilitas jauh dari kata memadai. Pada masa pandemi Covid-19, ketika sekolah harus mengajar daring, guru itu mengaku para muridnya sulit mencari sinyal. Banyak murid harus pergi ke hutan atau kebun yang dekat dengan tower BTS tempat di mana sinyal sempat bisa dijangkau, hanya agar bisa mengikut kelas online. Selain itu, satu laptop sering dipakai bersama tiga sampai empat anak. Mereka bukan saja berjuang untuk mendapatkan pelajaran, tetapi untuk sekadar berkesempatan tetap sekolah.

Sementara itu, di kota, banyak siswa yang mengeluh karena belajar daring terasa melelahkan padahal akses internet lancar, tapi motivasi terjun bebas, ketergantungan pada ai, dan kualitas belajar jadi dipertanyakan. Ada penyederhanaan pendekatan: nilai sering menjadi satu-satunya tujuan. Padahal bagi banyak siswa di daerah terpencil, sekadar bisa terhubung ke kelas online sudah sebuah keberuntungan.

Ketimpangan seperti ini tidak hanya menimbulkan kesenjangan kemampuan akademik. Ini merusak asas bahwa setiap anak Indonesia punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Anak yang lahir di wilayah kurang beruntung bukan karena kurang pintar, tetapi karena kurang kesempatan, seringkali kalah bersaing jauh sebelum mereka bisa membuktikan kemampuannya.

Itulah sebabnya pemerataan mutu pendidikan harus menjadi prioritas nyata. Pemerintah dan pemangku kebijakan harus mendistribusikan anggaran dan perhatian ke sekolah-sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) agar memiliki fasilitas dasar: listrik stabil, internet, sarana belajar, guru tetap. Seleksi guru dan distribusi tenaga pendidik tidak boleh hanya berpusat di kota besar saja. Di samping itu, perlu dukungan teknologi & kebijakan afirmatif: dari subsidi fasilitas, pelatihan guru, hingga program beasiswa dan dukungan bagi siswa di daerah terpencil. Pendidikan bukan soal tempat lahir tetapi tentang harapan, kesempatan, dan masa depan.

Saya menulis ini bukan sebagai kritik kosong, melainkan sebagai suara bagi mereka yang dulu berjuang keras hanya untuk sekadar membuka kelas daring. Pendidikan bukan hak istimewa. Pendidikan adalah hak untuk setiap anak Indonesia, tak peduli di mana mereka lahir. Bila kita terus meremehkan ketimpangan ini, kita bukan sekadar mengecewakan mereka, tapi juga membuang potensi besar bangsa. Saatnya kita bertindak nyata untuk mewujudkan pendidikan adil bagi semua.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image