Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Laura Trisha

IGD yang Lamban atau Kita yang Salah Paham?

Humaniora | 2025-12-14 13:05:49

"Dokter IGD-nya lama." Keluhan semacam ini bukan hal yang asing terdengar di ruang tunggu rumah sakit maupun di media sosial. Penanganan yang tidak segera diterima kerap langsung diterjemahkan sebagai kelambanan tenaga kesehatan. Sebenarnya, di balik kesan "tindakan lambat" tersebut, terdapat sistem kerja dan pertimbangan medis panjang yang tidak selalu terlihat oleh publik.

Bagi masyarakat umum, IGD sering dipahami sebagai ruang layanan yang harus selalu serba cepat dan responsif. Walaupun pemahaman ini tidak sepenuhnya salah, namun kurang tepat juga. Ketika kata "darurat" dilekatkan, muncul ekspektasi bahwa setiap pasien akan segera ditangani tanpa menunggu. Namun pada praktiknya, kesenjangan jumlah tenaga kesehatan tersedia dan jumlah kasus gawat darurat membuat adanya kasus yang lebih diprioritaskan dan kasus yang bisa "ditunggu dulu". Ketidaksesuaian antara harapan dan realita inilah yang kerap memicu kekecewaan pada pasien dan/atau keluarganya, lalu berkembang menjadi stigma terhadap tenaga kesehatan di IGD.

Stigma tersebut tidak muncul begitu saja. Cara IGD digambarkan dalam media populer turut berperan membentuk persepsi publik. Banyak serial medis menampilkan IGD secara berlebihan, hasil dramatisasi maupun romantisasi untuk menggaet atensi masyarakat, salah satunya serial. Dokter digambarkan selalu punya waktu untuk dialog panjang dan keputusan yang "heroik". Gambaran seperti ini memang menarik, tetapi tanpa disadari dapat membentuk ekspektasi yang tidak realistis tentang cara kerja IGD di dunia nyata. Gambaran IGD yang lebih membumi, seperti yang ditampilkan dalam The Pitt, serial televisi asal Amerika Serikat, justru jarang dikenal publik dan kerap kalah pamor.

Sumber: IMDb

Ketika ekspektasi yang keliru ini dibawa ke dunia nyata, konflik pun mudah terjadi. Salah satu pemicunya adalah asingnya konsep triase pada masyarakat. Banyak orang datang ke IGD tanpa memahami bahwa tidak semua kasus memiliki tingkat urgensi yang sama. Akibatnya, ketika tidak segera ditangani, sebagian orang akan protes, marah-marah, dan mengancam memviralkan karena merasa ditolak atau diabaikan. Tidak jarang mereka akan mengeluarkan "jurus" "Kamu tahu saya siapa?", seolah status sosial mereka dapat mengalahkan prioritas medis.

Sesungguhnya, triase dibuat justru untuk melindungi semua pasien. Sistem ini memastikan bahwa pasien dengan kondisi paling mengancam nyawa mendapatkan penanganan terlebih dahulu. Ironisnya, protes paling keras sering kali datang dari kasus yang sebenarnya tidak terlalu urgen untuk ditangani di IGD, terutama di IGD rumah sakit tipe A, yang mayoritas menangani pasien dengan kondisi kompleks dan berat yang memerlukan penanganan segera 24 jam. Ketika kasus non-darurat memaksakan diri untuk ditangani segera di ruang yang dirancang untuk keadaan darurat, beban kerja IGD justru semakin berat.

Stigma lain yang sering muncul adalah anggapan bahwa dokter jaga di IGD lamban dalam memberikan diagnosis maupun tindakan. Kerap luput dari perhatian masyarakat bahwa dalam banyak kasus, dokter jaga tidak bisa dan tidak boleh mengambil keputusan sendiri. Dokter perlu berkoordinasi dan berkonsultasi dengan dokter spesialis yang lebih kompeten dalam menangani kasus tersebut. Proses ini bukan bentuk keragu-raguan, melainkan bagian dari pertimbangan agar keputusan yang diambil tepat dan tidak berujung pada kesalahan, apalagi malpraktik.

Menurut saya, di sinilah pentingnya memahami bahwa pelayanan di IGD itu soal kecepatan dan ketepatan. Keputusan yang diambil terlalu terburu-buru tanpa koordinasi justru berpotensi membahayakan pasien. penanganan pasien di IGD bukan hasil kerja satu individu atau dokter saja, melainkan hasil kerja tim. Kesembuhan pasien adalah buah dari koordinasi dokter jaga, dokter spesialis, perawat, apoteker, serta tenaga kesehatan lain yang terlibat.

Dalam situasi seperti ini, komunikasi antartenaga kesehatan harus berlangsung cepat dan jelas. Sedikit saja miskomunikasi bisa berakibat fatal. Oleh karena itu, instruksi di IGD sering terdengar singkat dan tegas. Gaya komunikasi ini kerap disalahartikan sebagai sikap dingin, padahal justru diperlukan untuk menjaga ketenangan dan keselamatan pasien di tengah tekanan tinggi.

Penanganan yang terasa lama juga sering langsung dikaitkan dengan kinerja tenaga kesehatan. Sebenarnya banyak proses medis yang berlangsung di balik tirai dan tidka terlihat oleh pengunjung ruang tunggu. Keterbatasan tempat tidur, jumlah tenaga medis yang tidak sebanding dengan jumlah pasien, serta kebutuhan untuk terus berkoordinasi antartenaga kesehatan membuat prioritas harus disesuaikan secara dinamis. Dalam kondisi seperti ini, tenaga kesehatan tidak sedang menunda, tetapi memilih langkah paling aman bagi semua pasien.

Stigma negatif yang lahir dari ketidaktahuan ini pada akhirnya berdampak. Tenaga kesehatan di IGD kerap menjadi sasaran kemarahan, amukan verbal maupun fisik, bahkan intimidasi, hanya karena masyarakat tidak memahami sistem dan proses klinis yang sedang berjalan. Padahal, walaupun tidak seluruhnya, sebagian besar konflik tersebut berakar pada miskonsepsi, bukan pada kelalaian.

Sebagai mahasiswa dan bagian dari masyarakat, saya menilai sudah saatnya IGD dan tenaga kesehatan dipahami dengan sudut pandang yang lebih adil. Kritik terhadap layanan kesehatan tentu sah, tetapi kritik tanpa pemahaman justru memperkuat stigma yang keliru tadi. Menurut saya, IGD adalah ruang kerja dengan tekanan tinggi, di mana keselamatan pasien bergantung pada sistem triase, koordinasi tim, serta kehati-hatian dalam setiap pengambilan keputusan medis.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image