Simbol PinkHijau: Resonansi Empati dan Nilai Kebangsaan
Info Terkini | 2025-12-14 09:47:25
Fenomena foto profil Pink–Hijau yang menyebar setelah refleksi aksi 28 Agustus 2025 menjadi salah satu contoh bagaimana simbol kecil dapat memicu resonansi sosial yang besar. Dua warna ini bukan dipilih secara acak. Brave Pink berasal dari jilbab merah muda seorang ibu yang berdiri dengan keberanian di tengah situasi genting, sementara Hero Green merujuk pada jaket ojek online milik Affan Kurniawan, yang meninggal ketika berusaha menolong orang lain. Melalui situs brave-pink-hero-green.lovable.app, masyarakat dapat mengubah foto profilnya dalam hitungan detik sebagai ekspresi solidaritas, dukacita, dan harapan kolektif.
Tren ini muncul di tengah konflik sosial dan polarisasi digital yang semakin sering terjadi. Media sosial memecah perhatian publik menjadi kubu-kubu yang saling menguatkan narasi sendiri, sehingga peristiwa kemanusiaan sering ditarik menjadi bahan perdebatan. Namun justru dalam situasi itu, simbol Pink–Hijau menghadirkan ruang kesadaran baru: bahwa di balik segala perbedaan, ada nilai kemanusiaan yang tidak boleh dinegosiasi.
Di sinilah Pancasila menemukan makna praktisnya. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, tercermin dalam keberanian moral sang ibu yang melindungi sesama. Keberaniannya tidak bersumber dari kepentingan politik, melainkan dorongan nurani yang bersifat spiritual dan manusiawi.
Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, hadir melalui respons publik terhadap pengorbanan Affan. Ia bukan tokoh besar, tetapi tindakannya menunjukkan puncak kemanusiaan: membantu orang lain dalam situasi berbahaya. Publik memaknai kematiannya sebagai seruan untuk menempatkan martabat manusia di atas kekerasan.
Tren Pink–Hijau juga menjadi contoh nyata Sila Ketiga, Persatuan Indonesia. Ketika masyarakat dari latar berbeda mahasiswa, pekerja, aktivis, ibu rumah tangga, hingga komunitas digital serentak memakai warna yang sama, muncul kesadaran bersama bahwa penderitaan satu warga adalah penderitaan kita semua. Ini adalah bentuk persatuan emosional yang lahir dari rasa senasib dan sepenanggungan.
Selanjutnya, Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, tercermin dari cara publik mulai membicarakan isu ini secara lebih terbuka. Banyak forum diskusi, ruang Twitter Space, dan percakapan daring yang mencoba memahami duduk perkara, bukan hanya menyebarkan kemarahan. Ini menunjukkan bagaimana demokrasi bermusyawarah bisa hidup di tengah era digital, selama masyarakat mau mendengarkan satu sama lain.Akhirnya, Sila Kelima, Keadilan Sosial, menjadi tujuan dari seluruh solidaritas tersebut. Desakan terhadap transparansi, perlindungan hak-hak warga, dan penegakan keadilan bukan sekadar tuntutan politik, tetapi aspirasi moral rakyat agar tragedi kemanusiaan tidak terulang. Foto profil Pink–Hijau menjadi tanda bahwa rakyat menuntut keadilan dengan cara bermartabat.
Dengan demikian, gerakan Pink–Hijau bukan sekadar tren visual, tetapi refleksi moral kolektif yang berakar pada nilai-nilai Pancasila. Ia lahir dari konflik, tetapi menawarkan harapan. Ia muncul dari luka, tetapi memicu persatuan. Dan yang paling penting, ia membuktikan bahwa dalam masyarakat Indonesia, ketika nilai-nilai kemanusiaan dilukai, rakyat dapat bersatu tanpa harus menghapus perbedaan cukup dengan mengingat apa yang selama ini menjadi dasar bersama: Pancasila.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
