Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image M Pandu Aryasatya_ SKPJM

Fenomena Anak Berbicara Kasar: Era Digital vs Pola Asuh

Eduaksi | 2025-12-12 16:17:44
sumber:https://gramedia.id

Hal ini bukan terjadi tanpa sebab. Anak-anak tumbuh di tengah arus informasi tanpa batas, di mana media sosial, YouTube, TikTok, dan game online menyajikan gaya bahasa dan perilaku orang dewasa tanpa filter. Mereka meniru apa yang mereka tonton, bukan karena nakal, tetapi karena meniru adalah mekanisme belajar alami. Menurut penelitian Fauziah Zainuddin & Suriati (2018), usia 2–5 tahun adalah masa keemasan (golden age) masa dimana anak sangat kritis dan mudah meniru perilaku baik maupun buruk dari lingkungannya. Artinya, konten digital tanpa pendampingan bisa menjadi “guru” yang salah.

Di titik inilah peran orang tua menjadi sangat penting. Tidak cukup hanya dengan melarang anak bermain gawai, karena teknologi tidak mungkin dibatasi sepenuhnya. Masalahnya bukan pada digitalnya, melainkan minimnya pendampingan orang tua dalam membentuk pondasi karakter. Saat orang tua terlalu sibuk, terlalu lelah, atau menyerahkan pengawasan sepenuhnya pada gadget, anak mendapat panutan utama dari influencer, gamer, atau komedian yang tidak dirancang untuk konsumsi anak.

Padahal kita punya pedoman paling lengkap untuk membentuk karakter, bahkan sebelum era digital ada: nilai-nilai Pancasila. Jika nilai-nilai ini diterapkan secara nyata di dalam rumah sejak dini, anak akan lebih siap menghadapi dunia digital apa pun yang ia lihat. Sila pertama mengajarkan kesadaran spiritual dan rasa syukur; sila kedua menumbuhkan empati dan kemanusiaan; sila ketiga hingga kelima membiasakan persatuan, tenggang rasa, menghargai perbedaan, hingga keadilan. Bila anak terbiasa mendengar orang tua berbicara sopan, menghargai pendapat, tidak merendahkan orang lain, dan bertindak adil, karakter itu akan melekat dan menjadi filter otomatis ketika ia bersentuhan dengan konten digital.

Tidak cukup hanya menasihati. Anak meniru apa yang mereka lihat. Jika orang tua ingin anak berbicara sopan, maka orang tua harus membiasakan berbicara sopan. Jika ingin anak menghormati perbedaan, maka orang tua perlu memberikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Karakter terbentuk bukan dari kata-kata, tetapi dari teladan.

Mengasuh anak di era digital memang menantang, tetapi bukan alasan untuk menyerah. Kesiapan orang tua sebelum dan saat memiliki anak adalah kunci. Anak tidak hanya membutuhkan makanan, pakaian, dan fasilitas, tetapi juga nilai. Dan nilai bukan dibangun dalam satu hari, melainkan melalui kebiasaan setiap hari.

Jika hari ini setiap keluarga mau kembali menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar pola asuh, maka kita tidak hanya mencetak anak yang mahir teknologi, tetapi juga berkarakter kuat, santun, dan berjiwa kebangsaan. Di tengah dunia digital yang semakin liar, nilai Pancasila bukan hanya warisan bangsa, tetapi juga tameng terbaik untuk melindungi generasi masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image