Ambisi, Lelah, dan Alienasi: Potret Generasi yang Terjebak Budaya Hustle
Update | 2025-12-11 20:07:25
Di banyak sudut kota dari kafe 24 jam sampai layar ponsel yang tak pernah mati kita bisa melihat satu pola yang sama: orang-orang bekerja tanpa henti, mengejar banyak hal sekaligus, dan selalu merasa belum cukup. Fenomena ini akrab disebut hustle culture, sebuah gaya hidup yang menempatkan produktivitas sebagai ukuran nilai diri. Semakin sibuk seseorang, semakin tinggi pula ia dipandang. Namun di balik semangat itu, ada cerita lain yang jarang terdengar: kelelahan yang menumpuk, hubungan sosial yang renggang, dan tubuh yang perlahan dipaksa melampaui batas.Dari kacamata sosiologi kesehatan, budaya kerja seperti ini bukan sekadar pilihan pribadi. Ia tumbuh dari sistem ekonomi yang menjanjikan kesuksesan bagi mereka yang terus berlari. Kapitalisme mendorong orang untuk bersaing, menciptakan tekanan agar setiap detik harus menghasilkan sesuatu yang bernilai. Tidak heran jika banyak anak muda terbiasa menormalisasi kelelahan, seolah istirahat adalah bentuk kelemahan. Padahal, tubuh manusia tidak dirancang untuk bekerja nonstop.Dalam situasi seperti ini, muncul apa yang disebut sebagai “alienasi” sebuah konsep yang menjelaskan bagaimana seseorang bisa terpisah dari dirinya sendiri. Alienasi bukan hanya tentang merasa asing di tempat kerja, tetapi juga kehilangan koneksi dengan tubuh, emosi, dan kebutuhan pribadi. Banyak yang tidak sadar kapan sebenarnya mereka butuh berhenti, karena ritme hidup sudah ditentukan oleh target dan tuntutan. Mereka ada di tengah keramaian, tapi merasa kosong di dalam.Hustle culture membuat kita percaya bahwa keberhasilan harus dibayar mahal: tidur yang berkurang, makan tak teratur, hubungan sosial yang terputus satu per satu. Ketika ambisi tak lagi sehat, kesehatan menjadi korban. Keluhan seperti kecemasan, burnout, hingga gangguan tidur perlahan dianggap hal biasa. Bahkan, sakit sering kali hanya dianggap “penghalang kecil” yang harus dilawan, bukan sinyal bahwa tubuh butuh perhatian.Sosiologi kesehatan mengajak kita melihat bahwa masalah ini bukan sekadar urusan individu. Ia terkait dengan struktur sosial yang menekan, budaya yang menuntut, dan sistem kerja yang mengagungkan kecepatan. Selama sukses terus didefinisikan sebagai produktivitas tanpa batas, generasi muda akan terus merasa harus bekerja lebih keras dari yang mereka mampu.Kini, pertanyaannya bukan lagi “seberapa jauh kita bisa berlari?”, tetapi “apa yang sebenarnya kita kejar?”. Hidup yang terlalu dikejar jarang memberi ruang untuk merasakan. Kita butuh berhenti sejenak, menata ulang cara memandang diri, dan menyadari bahwa nilai manusia tidak ditentukan oleh seberapa padat jadwal yang ia punya.Ada saatnya ambisi menjadi dorongan positif, namun ketika ia berubah menjadi jebakan yang membuat kita jauh dari diri sendiri, kita perlu berani berhenti. Kesehatan baik fisik maupun mental bukan harga yang pantas dibayar demi sebuah citra produktif. Mungkin sudah waktunya menata ulang cara kita hidup, sebelum kelelahan mengambil alih segalanya.
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.