Hustle Culture: Antara Ambisi dan Ilusi
Gaya Hidup | 2025-09-26 08:33:39
Hustle culture atau budaya kerja tanpa henti saat ini menjadi fenomena yang banyak diperbincangkan, terutama di kalangan generasi muda. Konsepnya adalah bekerja keras tanpa kenal waktu, selalu produktif, dan mengejar kesuksesan secepat mungkin. Di satu sisi, hustle culture memang menanamkan semangat kompetitif yang bisa memotivasi seseorang untuk terus berkembang. Banyak orang berhasil mencapai tujuan finansial atau membangun karier cemerlang karena memiliki dedikasi tinggi dan etos kerja yang luar biasa. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh persaingan seperti sekarang, kerja keras memang menjadi salah satu kunci untuk tidak tertinggal.
Namun, di sisi lain, hustle culture seringkali memunculkan tekanan yang berlebihan. Kehidupan pribadi, kesehatan mental, bahkan kesehatan fisik sering dikorbankan demi ambisi untuk selalu “sibuk” dan produktif. Pola pikir yang menganggap bahwa istirahat adalah bentuk kemalasan justru menciptakan standar yang tidak realistis. Tidak semua orang mampu atau bahkan perlu untuk bekerja tanpa henti demi diakui sebagai orang sukses. Akibatnya, banyak yang mengalami burnout, kelelahan emosional, hingga kehilangan arah karena terlalu fokus mengejar pencapaian tanpa memberi ruang bagi diri sendiri untuk bernapas.
Menurut saya, hustle culture ibarat pedang bermata dua. Memiliki mimpi besar dan etos kerja tinggi adalah hal yang baik, tetapi kita juga harus menyadari bahwa hidup bukan hanya soal karier dan pencapaian materi. Keseimbangan antara kerja keras, waktu istirahat, dan kebahagiaan pribadi sangatlah penting. Hustle culture seharusnya diubah menjadi smart hustle, yaitu bekerja cerdas, memprioritaskan efisiensi, sekaligus menjaga kesehatan mental dan hubungan sosial. Dengan begitu, kita bisa meraih kesuksesan tanpa kehilangan kualitas hidup yang sebenarnya jauh lebih berharga.
Penulis : Feronika Ely Suryaningsih
( Mahasiswa Prodi Manajemen Universitas Airlangga)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
