Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tiza Indah Lestari

Kesenjangan Literasi Surabaya: Fasilitas Melimpah, Minat Baca Jalan di Tempat

Pendidikan | 2025-12-10 17:52:55
Suasana di perpustakaan balai pemuda kota surabaya

Surabaya punya segalanya: mal megah, taman indah, hingga perpustakaan modern sekelas Balai Pemuda. Namun, di balik dinginnya AC dan lengkapnya buku di rak perpustakaan kebanggaan kota ini, terselip sebuah ironi yang sunyi: kursinya penuh, tapi bukunya tak disentuh.

Membaca adalah indikator vital kemajuan bangsa dan fondasi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Namun, di tengah gempuran era digital, masyarakat justru lebih banyak menghabiskan waktu menatap layar gawai ketimbang lembaran kertas. Akibatnya, kebiasaan membaca menurun drastis, tak terkecuali di kota metropolitan seperti Surabaya.

Keterbatasan akses sering dijadikan kambing hitam atas rendahnya minat baca. Namun, kenyataan dilapangan berkata lain. Dengan fasilitas yang lengkap dan akses mudah pun, membaca ternyata masih belum menjadi pilihan utama. Fenomena ini kami amati langsung dalam sebuah penelitian lapangan di Perpustakaan Umum Balai Pemuda Kota Surabaya pada 18 Oktober 2025.

Saat Perpustakaan Menyambut, Buku Justru Tak Dilirik

Perpustakaan Umum Balai Pemuda yang berlokasi strategis di Jalan Gubernur Suryo No. 15 menawarkan kenyamanan luar biasa. Sebagai pusat literasi publik, suasananya bersih, sejuk, dan tertata apik. Fasilitasnya pun tak main-main: loker penitipan, pendingin ruangan, hingga ruang tematik unik seperti Korea Corner, English Corner, BI Corner, dan bahkan Dyslexia Corner. Sayangnya, fasilitas mewah tidak otomatis mendongkrak minat baca. Banyak pengunjung datang, tapi buku tetap kalah saing; bukan oleh bacaan yang rumit, melainkan oleh Wi-Fi dan gawai.

Hasil wawancara kami mengonfirmasi bahwa mayoritas pengunjung hadir bukan untuk menyelami buku, melainkan memanfaatkan Wi-Fi gratis dan ruang belajar untuk mengerjakan tugas kuliah. Hal ini mencerminkan tantangan nyata yang disebut dalam Jurnal Tadwin (Strategi Pengelolaan Perpustakaan), bahwa di era digital, tantangan terbesar perpustakaan bukan lagi menyediakan gedung fisik, melainkan strategi agar koleksi buku tetap menjadi daya tarik utama. Infrastrukturnya sudah siap, namun budayanya belum tumbuh. Perpustakaan kini berfungsi sebagai “tempat ketiga”: bukan rumah, bukan kampus, tapi tempat singgah nyaman di mana buku, sayangnya, belum menjadi alasan utama kunjungan.

Literasi Sebagai Fondasi Cinta Tanah Air

Kondisi ini sangat disayangkan, mengingat literasi sejatinya memiliki hubungan erat dengan rasa cinta tanah air. Membaca dapat meningkatkan wawasan dan daya pikir kritis masyarakat, sekaligus berkontribusi membangun SDM Indonesia yang unggul dan berkarakter. Literasi juga memungkinkan individu menjaga identitas bangsa Indonesia di kancah global. Bahkan dari sudut pandang agama, membaca adalah ibadah dan wujud syukur atas akal pemberian Tuhan.

Meskipun minat baca umum masih menjadi tantangan, Perpustakaan Umum Balai Pemuda tetap menunjukkan komitmen inklusivitas melalui fasilitas Dyslexia Corner. Ruang belajar komputer khusus bagi anak usia 5-9 tahun dengan disleksia ini selaras dengan penelitian Universitas Airlangga tentang revitalisasi peran perpustakaan, yang menegaskan bahwa literasi harus inklusif. Literasi bukan hanya soal membaca buku teks, tapi juga tentang kesetaraan akses pengetahuan bagi semua kalangan.

Solusi di Era Gawai: Mengubah Lawan Menjadi Kawan

Lantas, bagaimana mengatasi kesenjangan ini di tengah dominasi teknologi? Menurut partisipan yang kami wawancarai, kunci utamanya adalah kesadaran diri untuk menanamkan pola pikir bahwa membaca adalah kebutuhan primer.

Pendapat ini didukung oleh studi dalam Jurnal Tarètan terkait efektivitas literasi digital, yang menyarankan perubahan perspektif: gawai bisa menjadi peluang jika diarahkan dengan benar. Di tengah kemajuan teknologi, gawai justru dapat dimanfaatkan sebagai sarana positif untuk membaca artikel atau e-book.

Langkah sederhananya, kita bisa mulai mengurangi waktu bermain game dan menggantinya dengan membaca ringan via ponsel. Dengan begitu, teknologi tidak lagi menjadi pembunuh minat baca, melainkan jembatan menuju budaya literasi yang lebih baik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image