Fenomena Fatherless di Indonesia: Ancaman Tersembunyi Bagi Generasi Emas 2045
Eduaksi | 2025-12-10 17:50:38Indonesia (C)emas 2045" – ungkapan satir ini makin sering terdengar di kalangan pemerhati sosial dan generasi muda yang resah dengan kondisi bangsa. Kita semua tahu, masa depan Indonesia sangat bergantung pada kualitas generasi penerusnya. Namun ironisnya, ketika membahas soal kualitas generasi muda, fokus kita hampir selalu tertuju pada sistem pendidikan formal dan kebijakan pemerintah. Sekolah yang kurang memadai, kurikulum yang terus berganti, atau anggaran pendidikan yang minim menjadi kambing hitam utama. Padahal, ada satu masalah fundamental yang jarang kita sadari dampaknya: ketidakhadiran figur ayah dalam kehidupan anak-anak Indonesia.
Fenomena yang dikenal dengan istilah "fatherless" ini ternyata bukan sekadar masalah keluarga biasa. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa ketidakhadiran sosok ayah baik secara fisik maupun emosional membawa dampak jangka panjang yang serius terhadap perkembangan anak. Kita berbicara tentang jutaan anak Indonesia yang tumbuh tanpa bimbingan ayah yang memadai, dan ini bukan lagi persoalan pribadi, melainkan ancaman nyata bagi masa depan bangsa.
Fatherless sendiri tidak melulu berarti anak yang kehilangan ayah karena kematian atau perceraian. Dalam konteks yang lebih luas, fatherless mencakup situasi di mana ayah memang hadir secara fisik di rumah, tetapi absen secara emosional dan psikologis. Bayangkan seorang ayah yang pulang larut malam, hanya sempat melihat anaknya tidur, lalu berangkat pagi sebelum anak bangun. Atau ayah yang memang ada di rumah, tapi lebih sibuk dengan gadget-nya ketimbang mengobrol dengan anak. Dalam banyak kasus, ayah dianggap hanya berperan sebagai pencari nafkah, sementara urusan pengasuhan dan pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada ibu. Pola pikir tradisional yang masih mengakar kuat di masyarakat Indonesia ini tanpa disadari telah menciptakan generasi fatherless dalam jumlah yang mengkhawatirkan.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan angka perceraian di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2024, tercatat angka perceraian yang signifikan di berbagai provinsi di Indonesia dengan berbagai faktor penyebab, dan mayoritas hak asuh anak jatuh kepada ibu (Badan Pusat Statistik, 2024). Belum lagi jutaan anak dari keluarga utuh yang mengalami fatherless emosional karena ayah yang terlalu sibuk bekerja atau tidak memahami pentingnya keterlibatan mereka dalam pengasuhan. Ini bukan statistik kosong di balik angka-angka tersebut ada anak-anak nyata yang kehilangan figur penting dalam hidup mereka.
Lantas, apa sebenarnya dampak konkret dari fenomena fatherless ini? Penelitian psikologi perkembangan menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah cenderung mengalami berbagai masalah. Pertama, dari segi akademis, mereka lebih berisiko mengalami penurunan prestasi belajar dan lebih mudah putus sekolah. Ketiadaan dukungan dan motivasi dari ayah membuat mereka kehilangan salah satu sumber dorongan penting untuk berprestasi. Sebagaimana dijelaskan oleh Anesti (2024), fenomena fatherless membawa konsekuensi serius terhadap perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak, yang pada akhirnya mempengaruhi pencapaian akademis mereka.
Kedua, dampak psikologis juga tidak bisa dianggap remeh. Anak-anak fatherless lebih rentan mengalami masalah kepercayaan diri, kecemasan, dan depresi. Bagi anak laki-laki, kehilangan role model maskulinitas yang sehat membuat mereka bingung mencari identitas dan sering kali mencari sosok pengganti di tempat yang salah misalnya teman sebaya yang justru membawa pengaruh negatif atau figur-figur tidak pantas di media sosial. Sementara anak perempuan yang tumbuh tanpa kasih sayang ayah cenderung mencari validasi dari laki-laki lain di luar keluarga, yang menempatkan mereka pada posisi rentan dalam hubungan-hubungan yang tidak sehat.
Ketiga, dari aspek sosial dan perilaku, anak-anak fatherless memiliki kecenderungan lebih tinggi terlibat dalam kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, dan perilaku kriminal. Ini bukan sekadar asumsi, melainkan didukung oleh data dari lembaga pemasyarakatan anak di Indonesia yang menunjukkan bahwa mayoritas anak yang berhadapan dengan hukum berasal dari keluarga dengan ketiadaan atau disfungsi figur ayah.
Mengapa kehadiran ayah begitu penting? Dalam ilmu psikologi perkembangan, dijelaskan bahwa ayah dan ibu memiliki peran yang berbeda namun sama-sama krusial dalam pembentukan karakter anak. Jika ibu umumnya berperan dalam memberikan kehangatan, kasih sayang, dan rasa aman, maka ayah berperan dalam mengajarkan kemandirian, keberanian menghadapi tantangan, dan pemecahan masalah. Ayah juga menjadi jembatan bagi anak untuk memahami dunia luar dan cara berinteraksi dengan masyarakat luas. Nurjanah (2025) dalam studinya menekankan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan kepribadian dan kemampuan adaptasi anak di lingkungan sosialnya.
Akar masalah fatherless di Indonesia sebenarnya sangat kompleks dan berlapis. Pertama adalah faktor ekonomi. Tekanan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin tinggi memaksa banyak ayah bekerja dengan jam kerja yang panjang, bahkan harus merantau jauh dari keluarga. Afriliani dan Yulindrasari (2021) dalam penelitiannya tentang keluarga pekerja migran perempuan di Kabupaten Sukabumi menemukan bahwa ketika ibu harus bekerja sebagai migran, peran ayah menjadi krusial, namun tidak semua ayah mampu menjalankan peran pengasuhan dengan optimal karena berbagai keterbatasan. Dalam konteks ini, mereka bukan tidak ingin hadir, tetapi sistem ekonomi yang tidak ramah terhadap keseimbangan kerja dan kehidupan keluarga membuat mereka tidak punya pilihan.
Kedua adalah faktor budaya dan konstruksi sosial. Masyarakat Indonesia yang masih sangat patriarkal memiliki ekspektasi yang kaku tentang peran ayah dan ibu. Ayah dianggap berhasil jika bisa menafkahi keluarga dengan baik, titik. Sementara segala urusan domestik dan pengasuhan anak dianggap sebagai wilayah ibu. Pandangan ini begitu mengakar sehingga ayah yang terlalu banyak terlibat dalam pengasuhan anak malah sering dicap "tidak jantan" atau "terlalu lembek". Sebaliknya, ibu yang bekerja dan tidak bisa full time mengurus anak sering mendapat label "ibu yang tidak becus". Konstruksi sosial yang rigid ini pada akhirnya merugikan semua pihak, terutama anak.
Ketiga adalah minimnya edukasi tentang parenting, khususnya fathering. Berbeda dengan ibu yang dari kecil sudah "dilatih" untuk menjadi pengasuh melalui sosialisasi bermain boneka dan membantu di dapur, anak laki-laki jarang dipersiapkan untuk menjadi ayah yang aktif terlibat dalam pengasuhan. Akibatnya, ketika menjadi ayah, banyak yang tidak tahu harus berbuat apa selain bekerja dan memberi uang. Wijayanti dan Fauziah (2024) menegaskan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak masih menjadi tantangan besar di Indonesia karena kurangnya pemahaman tentang pentingnya peran ayah dalam perkembangan anak.
Lalu bagaimana solusinya? Mengatasi fenomena fatherless memerlukan pendekatan multidimensi yang melibatkan berbagai pihak. Di tingkat keluarga, kesadaran akan pentingnya peran ayah harus ditingkatkan. Ayah perlu memahami bahwa kehadiran mereka bukan hanya soal memberi nafkah, tetapi juga memberi waktu, perhatian, dan teladan. Ibu juga perlu membuka ruang bagi ayah untuk terlibat aktif dalam pengasuhan, tidak memonopoli semua urusan anak dengan dalih "ayah tidak bisa" atau "lebih cepat kalau saya yang lakukan".
Penelitian Fitriana, Hanurawan, Chusniyah, dan Atmoko (2025) memberikan perspektif menarik tentang keterlibatan ayah dalam pendidikan anak di Indonesia. Studi mereka menemukan bahwa religiusitas, kepuasan perkawinan, dan self-efficacy ayah memiliki peran penting dalam mendorong keterlibatan ayah dalam pendidikan anak. Temuan ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan keterlibatan ayah, kita perlu memperkuat faktor-faktor tersebut melalui berbagai program pemberdayaan keluarga yang tidak hanya fokus pada aspek ekonomi, tetapi juga psikologis dan spiritual.
Di tingkat masyarakat, kita perlu mengubah narasi tentang maskulinitas dan peran ayah. Media massa, tokoh masyarakat, dan influencer bisa berperan dalam menormalisasi gambaran ayah yang aktif dalam pengasuhan. Kita perlu lebih banyak role model ayah modern yang tidak malu membantu mengganti popok, mengantar anak ke sekolah, atau hadir di acara sekolah anak. Gerakan seperti kampanye "Ayah Bunda Generasi Platinum" atau "Ayah ASI" yang mendorong keterlibatan ayah dalam pengasuhan bayi adalah langkah positif yang perlu diperluas jangkauannya.
Pengalaman pandemi COVID-19 memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya keterlibatan ayah dalam pendidikan anak. Bali dan Betty (2022) dalam penelitiannya menemukan bahwa selama masa belajar dari rumah, peran ayah dalam mendampingi anak belajar menjadi sangat krusial. Banyak ayah yang awalnya tidak terbiasa terlibat dalam pendidikan anak, dipaksa untuk lebih aktif mendampingi anak belajar. Pengalaman ini membuka mata banyak ayah tentang tantangan yang dihadapi anak dalam belajar dan pentingnya dukungan mereka. Momentum ini seharusnya tidak berhenti setelah pandemi, melainkan dijadikan sebagai titik awal transformasi peran ayah yang lebih aktif dalam pendidikan anak.
Dari sisi kebijakan, pemerintah dan perusahaan perlu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan kehidupan kerja dan keluarga. Cuti ayah yang memadai, jam kerja yang fleksibel, dan budaya kerja yang tidak mengagungkan lembur berlebihan adalah beberapa hal yang bisa diterapkan. Beberapa negara maju telah membuktikan bahwa kebijakan cuti ayah yang panjang dan dibayar penuh tidak hanya meningkatkan kesejahteraan anak, tetapi juga produktivitas kerja dalam jangka panjang.
Institusi pendidikan juga punya peran penting. Sekolah-sekolah perlu melibatkan ayah dalam kegiatan sekolah, tidak hanya ibu. Program seperti "father's day at school", workshop parenting untuk ayah, atau kelas parenting yang dijadwalkan di akhir pekan agar ayah yang bekerja bisa ikut, adalah contoh inisiatif yang bisa diterapkan. Perguruan tinggi juga perlu memasukkan materi tentang parenting, termasuk fathering, dalam kurikulum, terutama untuk mahasiswa yang bersiap memasuki kehidupan berkeluarga.
Yang tidak kalah penting adalah pemberdayaan komunitas. Berbagai komunitas ayah seperti "Ayah ASI Indonesia", "Fathers Club", atau komunitas-komunitas ayah di media sosial telah menunjukkan bahwa banyak ayah yang sebenarnya ingin terlibat lebih dalam pengasuhan anak tetapi tidak tahu caranya atau merasa sendirian. Komunitas-komunitas ini menyediakan ruang bagi ayah untuk belajar, berbagi pengalaman, dan saling mendukung. Semakin banyak ayah yang tergabung dalam komunitas positif seperti ini, semakin besar peluang terciptanya generasi ayah yang lebih sadar akan perannya.
Studi Naufal (2025) tentang keterlibatan ayah dalam praktik pengasuhan di keluarga urban Kota Denpasar memberikan gambaran menarik tentang dinamika pengasuhan di kota besar. Penelitian ini menemukan bahwa ayah di perkotaan cenderung memiliki kesadaran yang lebih tinggi tentang pentingnya keterlibatan mereka dalam pengasuhan, namun tantangan seperti tuntutan pekerjaan dan stereotip gender masih menjadi hambatan utama. Temuan ini menegaskan bahwa meskipun kesadaran sudah mulai tumbuh, dukungan struktural dan perubahan budaya tetap diperlukan agar kesadaran tersebut dapat diterjemahkan menjadi tindakan nyata.
Fenomena fatherless ini sesungguhnya adalah cermin dari masalah yang lebih besar dalam masyarakat kita ketidakseimbangan peran gender, sistem ekonomi yang eksploitatif, dan kurangnya investasi pada kesejahteraan keluarga. Mengatasi fatherless berarti juga mengatasi akar-akar masalah struktural tersebut. Transformasi tidak bisa terjadi dalam semalam, namun dengan kesadaran kolektif dan upaya bersama dari berbagai pihak, perubahan positif dapat terwujud.
Pada akhirnya, kita perlu menyadari bahwa membangun generasi emas 2045 bukan hanya soal meningkatkan kualitas sekolah atau mengubah kurikulum. Fondasi terpenting dari pendidikan ada di keluarga, dan keluarga yang utuh secara emosional dengan kehadiran penuh baik ayah maupun ibu adalah hak setiap anak. Ketika jutaan anak Indonesia kehilangan hak ini, kita tidak bisa berharap banyak pada bonus demografi atau generasi emas. Yang akan kita panen justru adalah generasi yang rapuh secara emosional, mudah terpengaruh hal-hal negatif, dan tidak siap menghadapi tantangan masa depan.
Investasi terbaik yang bisa kita berikan untuk masa depan Indonesia bukanlah infrastruktur fisik atau teknologi canggih, melainkan anak-anak yang tumbuh dengan sehat secara fisik, mental, dan emosional. Dan untuk mencapai itu, kehadiran penuh ayah dalam kehidupan anak adalah keniscayaan, bukan pilihan. Setiap ayah harus memahami bahwa mereka memiliki kekuatan luar biasa untuk membentuk masa depan anak-anaknya, dan dengan demikian, masa depan bangsa.
Maka, bagi kita yang sudah atau akan menjadi orang tua, mari renungkan: apakah kita hadir secara utuh dalam kehidupan anak-anak kita? Bagi ayah-ayah di luar sana, ingatlah bahwa tidak ada pekerjaan atau pencapaian karier yang bisa menggantikan momen-momen berharga bersama anak. Anak-anak tidak membutuhkan ayah yang sempurna, mereka hanya butuh ayah yang hadir, mendengarkan, dan berusaha. Dan bagi kita semua sebagai bagian dari masyarakat, mari ciptakan lingkungan yang mendukung setiap ayah untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka dalam peran sebagai orang tua.
Mencegah Indonesia menjadi "cemas" di 2045 dimulai dari memastikan setiap anak tumbuh dengan kehadiran penuh kedua orang tuanya, terutama sosok ayah yang selama ini sering terabaikan perannya. Ketika setiap ayah memahami dan menjalankan perannya dengan baik, ketika masyarakat mendukung keterlibatan ayah dalam pengasuhan, dan ketika kebijakan publik memfasilitasi keseimbangan kehidupan kerja dan keluarga, maka saat itulah kita benar-benar mempersiapkan generasi emas yang sejati generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga matang secara emosional dan siap memimpin Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
