Saat Orang Tua Pinjam Uang, Mengapa Anak yang Harus Bayar Masa Depan?
Lain-Lain | 2025-12-10 17:01:45
“Bank Plecit” atau “Bank Mingguan” kini menjadi ‘solusi instan’ bagi sebagian ibu rumah tangga di Indonesia. Data Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan, indeks literasi keuangan tahun 2025 di wilayah perkotaan masing-masing sebesar 70,89 persen dan 83,61 persen, lebih tinggi dibandingkan di wilayah perdesaan, yakni masing-masing sebesar 59,60 persen dan 75,70 persen (OJK, 2025). Kesenjangan angka literasi inilah yang dimanfaatkan oleh predator finansial.
Bank Plecit memulai aksinya di celah-celah kemiskinan dan ketidakmampuan birokrasi perbankan formal menjangkau masyarakat pedesaan. Umumnya, sasaran empuk mereka adalah ibu-ibu rumah tangga di pedesaan dengan memanfaatkan kelemahan sistem dan rendahnya pemahaman finansial ibu-ibu desa. Mereka menawarkan pinjaman cepat dan syarat yang mudah. Hanya dengan modal foto KTP, ibu-ibu bisa meminjam uang berapa pun nominalnya. Kemudahan yang tampak menguntungkan sebenarnya berbahaya. Mekanisme tanpa verifikasi ini justru membuka celah penipuan, jebakan bunga tinggi, hingga risiko penyalahgunaan data pribadi. Ketika sistem gagal melindungi dan literasi finansial keluarga rendah, jeratan Bank Plecit tidak hanya menguras dompet, tetapi juga perlahan merampas masa depan anak. Lalu, sampai kapan masa depan anak harus menjadi harga yang dibayar akibat utang yang seharusnya bisa dicegah?
Jerat Bunga dan Ilusi Penyelamat Ibu
Lembaga keuangan formal seperti bank atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) sering dianggap 'terlalu jauh' dan 'terlalu rumit' oleh ibu-ibu di desa. Mereka membutuhkan uang hari ini, bukan bulan depan setelah melalui proses birokrasi yang panjang. Di sinilah Bank Plecit masuk. Mereka mendekat, membangun relasi sosial, dan menawarkan pinjaman berbasis kepercayaan.
Masalahnya terletak pada mekanisme bunga. Rentenir informal umumnya menerapkan bunga yang tidak transparan atau bahkan harian. Ketika bank formal menerapkan bunga tahunan, Bank Plecit bisa mengenakan bunga 20% bahkan 30% per minggu atau per bulan, jauh melampaui batas kewajaran. Seorang ibu yang meminjam Rp 1.000.000, bisa saja harus mengembalikan Rp 1.300.000 dalam waktu kurang dari sebulan. Jika gagal bayar, utang tersebut langsung di-roll over (digulirkan) dengan bunga baru, menciptakan efek bola salju yang mencekik. Mekanisme bunga yang tak wajar membuat peminjam mudah terjebak dan sulit keluar dari lingkaran utang.
Ketidakmampuan membaca kontrak, menghitung bunga majemuk, dan bahkan rasa gengsi akan gaya hidup, membuat ibu-ibu menjadi mangsa sempurna. Kegagalan sistem negara dalam menyediakan akses keuangan yang mudah dan adil, secara tidak langsung, telah melegitimasi keberadaan lintah darat modern ini. Kombinasi ini membuat keluarga khususnya ibu semakin rentan terjebak dalam jeratan utang Bank Plecit.
Trauma Utang terhadap Anak
Dampak paling tragis dari jeratan utang ini tidak tercatat dalam neraca keuangan, melainkan dalam rekam jejak psikologis anak.
1. Gangguan psikologis dan fisik pada anak
Lingkungan rumah yang penuh konflik dan tekanan ekonomi mengubah rumah dari tempat aman menjadi sumber kecemasan, sehingga anak mengalami gejala psikologis seperti depresi, gangguan perilaku, dan penurunan prestasi akademik. Krisis finansial juga mengakibatkan anak tidak mendapatkan asupan makanan bergizi yang cukup sehingga meningkatkan risiko masalah kesehatan fisik pada anak.
2. Eksploitasi anak
Tekanan ekonomi sering memaksa anak, terutama di keluarga miskin, untuk bekerja membantu keuangan keluarga. Dalam budaya Indonesia, anak sulung kerap sekali dijadikan alat untuk membantu atau menggantikan orang tua bekerja. Mereka kehilangan waktu bermain, istirahat, dan belajar, serta berisiko mengalami gangguan perkembangan, rendah diri, kecemasan, dan masalah perilaku.
3. Masa depan sekolah yang terpangkas
Pilar pendidikan, yang seharusnya menjadi tiket emas bagi generasi desa untuk memutus siklus kemiskinan, justru menjadi korban pertama dari utang Bank Plecit. Anak khususnya anak sulung kehilangan kesempatan dan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan hanya diwariskan siklus kemiskinan. Budaya anak sulung sebagai penopang beban saudaranya mengakibatkan mereka harus menunda kuliah atau bahkan putus SMA. Hal ini mengakibatkan mereka kehilangan modal sosial dan intelektual untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik, sehingga mereka akan mengulangi kerentanan finansial orang tua mereka di masa depan.
Hentikan Siklus Kemiskinan dan Eksploitasi Anak
Sebelum menyalahkan keluarga, negara harus lebih tegas melindungi warganya dari praktik bank plecit yang menjerat masyarakat kecil. Pemerintah perlu:
- Memperketat penindakan bank plecit dan rentenir digital yang beroperasi tanpa izin.
- Memperluas akses pembiayaan legal yang murah dan cepat, agar warga tidak terpaksa meminjam ke pihak ilegal.
- Menghadirkan edukasi finansial yang efektif dan menjangkau rumah tangga berpendapatan rendah, khususnya di perdesaan.
Tanpa langkah agresif dari pemerintah, masyarakat akan terus menjadi sasaran empuk pinjaman predatorik yang akhirnya merampas peluang anak memperoleh pendidikan dan masa depan yang layak.
Selain peran pemerintah, keluarga memiliki peran utama dalam kasus ini. Seringkali dalam masyarakat patriarki, ibu disorot sebagai pihak yang aktif berinteraksi dengan rentenir, tetapi di mana peran ayah? Peran ayah sebagai kepala keluarga dan pengambil keputusan ekonomi utama harus dipertanyakan. Manajemen keuangan keluarga adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas ibu yang terdesak kebutuhan konsumtif atau modal kecil.
Untuk mencegah orang tua jatuh ke lubang utang pada bank ilegal, keluarga perlu secara aktif menerapkan hal berikut:
- Catat arus uang (masuk–keluar) untuk mengukur kemampuan pemenuhan kebutuhan keluarga.
- Bedakan kebutuhan vs keinginan, prioritaskan yang wajib.
- Sediakan dana darurat meskipun kecil, sisihkan sedikit tapi rutin.
- Cari bantuan resmi terlebih dahulu: bank, koperasi legal, BPJS, Bansos, atau program sosial.
- Hindari keputusan mendadak waktu panik, tunda 24 jam sebelum ambil pinjaman apa pun.
- Jangan gengsi komunikasi dengan keluarga soal kondisi keuangan.
- Cek legalitas kalau tetap perlu pinjaman (OJK, koperasi terdaftar).
Menyelamatkan keluarga dari jeratan utang adalah investasi wajib negara dan masyarakat untuk masa depan generasi penerus. Kita harus memastikan bahwa harga utang yang dipinjam orang tua baik ibu maupun ayah tidak lagi dibayar dengan masa depan sekolah dan psikologi anak-anak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
