Sunat Massal dan Krisis Keamanan Pasien: Saat Integritas Profesional dalam Praktik Medis Dipertanyakan
Event | 2025-12-09 10:12:08Tidak ada orang tua yang menduga bahwa kegiatan sunat massal—yang selama ini menjadi tradisi sosial dan ajang bakti kesehatan—dapat berubah menjadi mimpi buruk. Namun itulah yang terjadi di Palembang, ketika seorang anak berusia enam tahun mengalami komplikasi serius pasca tindakan sunat. Alih-alih pulih seperti lazimnya pasien seusianya, anak tersebut justru mengalami nyeri hebat dan aliran urin yang bercabang hingga lima jalur dari luka bekas jahitan. Ia akhirnya harus menjalani operasi lanjutan di rumah sakit besar, dan keluarganya melaporkan kasus ini sebagai kesimpulan malpraktik. Kejadian tersebut segera menarik diskusi luas mengenai keselamatan pasien dan standar etika tenaga kesehatan dalam kegiatan medis berskala besar.
Meski sunat merupakan prosedur yang umum dilakukan, komplikasi ekstrem seperti fistula uretra—yakni terbentuknya celah abnormal yang menyebabkan keluarnya urin dari berbagai jalur—sangat jarang terjadi jika prosedur dilaksanakan sesuai standar kompetensi dan protokol operasi minor. Keluarga korban mengaku bahkan tidak mengetahui identitas pasti tenaga medis yang menangani anaknya, serta tidak mendapatkan pendampingan atau edukasi pasca tindakan. Ketiadaan dokumentasi tersebut menjadi tanda tanya besar: apakah pemeriksaan pra-sunat dilakukan dengan benar? Apakah tenaga medis memiliki kompetensi sesuai regulasi? Apakah ada sistem pemantauan dan penanganan pasca tindakan? Semua pertanyaan itu tidak boleh muncul dalam sistem pelayanan kesehatan yang mengutamakan keselamatan pasien.
Dari sudut pandang etika medis, kejadian ini setidaknya menunjukkan adanya kemungkinan pelanggaran terhadap prinsip dasar praktik kedokteran. Prinsip beneficence—kewajiban memberikan manfaat kepada pasien—dan non-maleficence—kewajiban untuk tidak mencelakakan—seakan terabaikan ketika kontrol kualitas tindakan tidak dipertahankan. Pada saat yang sama, keadilan, yakni sebagai keadilan dalam akses terhadap prosedur berstandar aman, dipertaruhkan ketika kegiatan medis massal dijalankan tanpa proporsi tenaga kesehatan, fasilitas, dan waktu yang memadai. Semangat sosial dari acara seperti sunatan massal memang penting, tetapi tidak dapat dijadikan tameng untuk menyumbangkan integritas profesional.
Penegakan hukum kesehatan di Indonesia sebenarnya telah memiliki mekanisme untuk menindak kelalaian medis. UU Praktik Kedokteran 2004, UU Rumah Sakit 2009, dan UU Kesehatan 2023 mengatur kewajiban standar profesi, hak pasien, hingga jalur sanksi pidana, perdata, dan administratif. Namun, kasus seperti ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada belum cukup kuat mencegah kejadian sebelum terjadi. Masalahnya bukan hanya individu tenaga kesehatan yang salah melakukan tindakan, tetapi kemungkinan adanya kegagalan sistemik: kurangnya seleksi tenaga medis, ketidakmampuan menyesuaikan kapasitas layanan dengan jumlah peserta, dan minimalnya alur penanganan komplikasi. Tanpa pembenahan pada sistem level, kasus serupa sangat mungkin terulang.
Reformasi keamanan pasien tidak hanya mengandalkan ancaman sanksi terhadap tenaga medis setelah kejadian buruk terjadi. Yang jauh lebih penting adalah penegakan standar sebelum tindakan dilakukan. Itu berarti penyelenggara kegiatan medis massal harus mengutamakan kuota peserta sesuai tenaga kesehatan yang tersedia, memastikan kompetensi operator, mendokumentasikan riwayat tindakan, dan menyediakan layanan pemantauan pasca-sunat. Keselamatan pasien tidak boleh menjadi nomor sekian hanya karena layanan dilakukan dalam konteks sosial atau amal.
Kasus sunat massal di Palembang telah membuka mata masyarakat bahwa tindakan medis sekecil apa pun tetap memiliki risiko, dan risiko hanya dapat ditekan jika integritas profesional dijaga. Setiap tenaga kesehatan membawa tanggung jawab etika dan hukum yang melekat, bahkan dalam kegiatan sosial sekalipun. Ketika kepercayaan masyarakat terhadap profesi medis sedang diuji, satu hal harus digarisbawahi: aksi kemanusiaan tidak akan pernah cukup jika tidak disertai kompetensi dan akuntabilitas. Kesehatan anak bukan arena percobaan, dan keselamatan pasien harus selalu menjadi prioritas tertinggi.
???? Daftar Pustaka
(Disusun dengan menyesuaikan sumber makalah dan relevansi dengan artikel ilmiah populer)
Bono, MJ (2022). Malpraktik Medis. StatPearls / NCBI Bookshelf.Rokayah, S., & Widjaja, G. (2022). Kelalaian (Kelalaian) dan Malpraktik Medis. Jurnal Lintas Batas.Abdul Aziz, AH (2021). Tinjauan Kriminologi Mengenai Malpraktik Medis. Neliti.Yudyaningarum, CP (2022). Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Malpraktik Medis. Akademisi.Firma Hukum SIP. (2023). Prosedur Pelaporan Dugaan Malpraktik Tenaga Medis setelah UU Kesehatan 2023.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Kelompok 5 Etik 01
1. Muhammad Alfian Baihaqi4412510072. Rafael Joseph Donovan Simbolon1112510013. Chantika Amelia Putri1322510044. Habibah Al Maulidy Sukarno1322510065. Elmira Agali Putri Shokib1612510306. Dewinda Dwi Andriani Daulia1912510037. Kaamilah Syaafiyah Putri H.1512510058. Alzhafira Penny Mardova4122510099. Indri Elma Ramadhani412251010
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
