Mengapa Hidup Miskin Justru Lebih Mahal: Sebuah Renungan di Tengah Malam
Humaniora | 2025-12-08 12:41:38
Salah satu kalimat yang pernah saya temukan dalam sebuah buku ekonomi perilaku berbunyi begini:
“Kemiskinan bukan sekadar kekurangan uang. Ia adalah kondisi yang membuat setiap keputusan kecil menjadi lebih mahal.”
Kalimat itu tampak sederhana, tetapi semakin dipikirkan, semakin terasa benar dalam kenyataan sehari-hari.
Banyak orang mengira kemiskinan hanya soal pendapatan yang rendah. Padahal, masalah terbesar dari hidup miskin adalah biaya tambahan yang harus dibayar untuk hal-hal yang sebenarnya sederhana. Fenomena ini dikenal sebagai poverty penalty—suatu kondisi ketika orang yang kurang mampu justru mengeluarkan biaya lebih besar dibanding mereka yang mapan.
Contoh paling nyata ada pada barang-barang harian, seperti sandal murah, payung murah, atau peralatan rumah tangga yang “asal bisa dipakai”. Ketika kualitas rendah membuat barang cepat rusak, maka pembelian berulang tak terhindarkan. Jika dihitung dalam setahun, jumlahnya dapat melampaui harga satu produk berkualitas baik. Di sini terlihat jelas paradoksnya: yang miskin tidak mampu membeli barang mahal, tetapi justru membayar lebih banyak dalam jangka panjang.
Dari sudut pandang filsafat, terutama pemikiran Karl Marx, kondisi material manusia membentuk bagaimana ia bertindak dan memilih. Namun dalam konteks kemiskinan, pilihan itu sebenarnya tidak benar-benar ada. Orang dengan keterbatasan ekonomi dipaksa beroperasi dalam ruang pilihan yang sangat sempit. Mereka tidak memilih “produk murah” karena ingin yang murah, tetapi karena hanya itu yang mungkin.
Masalah tidak berhenti pada barang. Kemiskinan juga menciptakan biaya akses.Tidak memiliki kendaraan pribadi berarti transportasi harian menjadi pengeluaran signifikan. Tinggal di kawasan pinggiran membuat ongkos perjalanan meningkat sekaligus memakan waktu. Tidak memiliki kulkas memaksa seseorang membeli bahan makanan setiap hari—lebih mahal daripada belanja mingguan. Dalam kasus tertentu, tempat tinggal yang kurang layak meningkatkan risiko kesehatan, yang artinya biaya berobat lebih sering muncul.
Di titik ini, kemiskinan bukan hanya persoalan uang. Ia berubah menjadi masalah waktu, energi, dan kualitas hidup.
Dalam buku-buku eksistensial seperti karya Camus, kita diajarkan bahwa manusia selalu menghadapi absurditas—ketidakpastian yang tidak bisa dikendalikan. Namun absurditas yang dihadapi oleh orang miskin jauh lebih berat. Mereka harus mengatur hidup di tengah realitas yang tidak memberi ruang untuk kesalahan. Pengeluaran tak terduga sekecil apa pun—banjir kecil, obat habis, alat rumah tangga rusak—bisa mengguncang keseimbangan keuangan yang sudah rapuh.
Ada pula aspek emosional yang sering luput dari pembahasan.Kemiskinan menguras energi mental: kecemasan setiap akhir bulan, tekanan karena tidak punya “ruang aman” finansial, hingga perasaan bersalah ketika harus memilih antara kebutuhan satu dan kebutuhan lainnya. Biaya emosional ini jarang diperhitungkan, padahal dampaknya nyata.
Filsafat Timur mengingatkan bahwa manusia membutuhkan ruang untuk berkembang, bukan hanya bertahan. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang hidup dalam keterbatasan ekonomi justru harus menghabiskan sebagian besar energinya untuk memastikan hari ini terlewati. Pertumbuhan pribadi menjadi kemewahan. Waktu luang menjadi barang langka. Bahkan rasa aman menjadi sesuatu yang tidak semua orang bisa rasakan.
Karena itu, ketika kita membicarakan kemiskinan, seharusnya kita tidak hanya membahas angka dan statistik. Kita perlu melihat bagaimana struktur biaya yang tidak adil ini bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa kemiskinan bukan sekadar “tidak punya uang”, tetapi “membayar lebih mahal untuk bisa hidup”.
Pada akhirnya, setiap kali menutup buku yang membahas tentang kehidupan atau keadilan sosial, ada satu kesadaran yang kembali muncul: bahwa ketidaksetaraan bukan hanya terlihat dalam jumlah uang yang dimiliki seseorang, tetapi juga dalam biaya yang harus ia bayar untuk sekadar menjalani hidup normal.
Dan di antara segala teori dan data, kenyataan sederhana ini tetap yang paling sulit dibantah:orang miskin membayar lebih mahal—dengan uang mereka, waktu mereka, dan sering kali, ketenangan mereka.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
