Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shine Nevsa Sanjaya

Penyandang Disabilitas di Dunia Kerja: Stigma atau Keterbatasan?

Eduaksi | 2025-12-05 12:39:49

Konstruksi Sosial Disabilitas: Keterbatasan Fisik Bukan Satu-Satunya Faktor

Sebelumnya, perlu kita ketahui bahwa kata disabilitas berasal dari bahasa Inggris “disability” yang berarti cacat atau ketidakmampuan, sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disabilitas berarti keadaan seperti sakit atau cedera yang membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang. World Health Organization (WHO) mengartikan disabilitas sebagai suatu ketidakmampuan dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas tertentu layaknya orang normal, kondisi tersebut terjadi karena kehilangan atau adanya ketidakmampuan psikologis, fisiologis, maupun kelainan struktur anatomi. Orang yang mengalami gangguan tersebut biasanya disebut sebagai penyandang disabilitas.

Di Indonesia, disabilitas masih dipahami sebagai masalah medis, sehingga penyandang disabilitas seringkali dianggap tidak produktif dan kurang mampu bersaing dalam dunia kerja. Padahal, hambatan terbesar penyandang disabilitas bukan pada kondisi fisik mereka, melainkan cara masyarakat memandang kemampuan mereka. Pada tahun 2023, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah pekerja disabilitas masih sangat rendah dengan total 763.925 orang atau 0,55% dari total tenaga kerja nasional. Rendahnya partisipasi kerja ini tidak hanya dapat dilihat dari sisi kondisi tubuh, terutama karena sebagian besar penyandang disabilitas justru mampu bekerja jika lingkungan mendukung.

Sayangnya, konstruksi sosial yang bias membuat mereka dinilai tidak layak bekerja terutama di bidang formal, ditambah dengan kenyataan bahwa 70-80% penyandang disabilitas hanya menamatkan pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). hal tersebut menunjukkan adanya akses pendidikan yang diskriminatif. Akibatnya, sekitar 75% dari penyandang disabilitas yang bekerja hanya berada di sektor informal, pekerjaan yang seringkali tidak stabil dan berpenghasilan rendah. Keterbatasan yang dihadapi oleh kelompok penyandang disabilitas seringkali tercipta oleh karena struktur sosial yang ada.

Dominasi Medical Model bagi Penyandang Disabilitas dalam Masyarakat

Masyarakat dan institusi di Indonesia masih terdominasi oleh medical model atau model medis dalam memperlakukan penyandang disabilitas. Kita seringkali menekankan disabilitas sebagai kondisi patologis atau kekurangan tubuh yang harus diperbaiki karena adanya masalah medis. Akibatnya, penyandang disabilitas sering dianggap tidak produktif, rentan sakit, dan tidak mampu beradaptasi di dunia kerja. Data dari Sensus Penduduk (2020) menunjukkan hanya 21,65% penyandang disabilitas yang bekerja, dengan mayoritas berada di sektor informal sekitar 75% yang tidak membutuhkan kualifikasi tinggi. Hal tersebut memperkuat asumsi medis yang membatasi mereka pada pekerjaan “ringan” atau adanya rasa kasihan. Hanya 70-80% penyandang disabilitas hanya menamatkan pendidikan hingga tingkat SD, sehingga keterampilan mereka dianggap tidak memadai untuk pekerjaan formal. Dominasi model medis memperkuat stigma dan mempengaruhi seleksi kerja. Perusahaan lebih menilai kondisi fisik daripada kompetensi, sehingga peluang penyandang disabilitas untuk dapat bekerja secara layak terbatas.

Social Model: Menggeser Stigma dan Mengurangi Hambatan

Berbeda dengan medical model, social model menekankan bahwa hambatan utama penyandang disabilitas timbul dari lingkungan sosial dan struktural, bukan dari kondisi tubuh mereka. Dalam perspektif ini, adaptasi, aksesibilitas, dan dukungan untuk meningkatkan partisipasi kerja penyandang disabilitas menjadi fokus utama. Peluang mereka bisa meningkat apabila lingkungan kerja dapat lebih inklusif dan akses pendidikan dapat lebih terjangkau bagi penyandang disabilitas. Misalnya, jika penyandang disabilitas diberi pelatihan keterampilan, teknologi bantu, serta fasilitas kerja yang ramah disabilitas, banyak dari mereka mampu bekerja di sektor formal dan produktif. Selain itu, pendidikan inklusif terbukti meningkatkan kemampuan kerja, penyandang disabilitas yang menamatkan pendidikan menengah atau tinggi memiliki peluang untuk bekerja di sektor formal lebih tinggi. Dengan demikian, social model menggeser fokus dari “memperbaiki tubuh” ke “memperbaiki lingkungan sosial dan kebijakan”, hal tersebut menekankan bahwa stigma, diskriminasi, dan sulitnya akses sistem sosial-lah yang menjadi penghalang utama bagi penyandang disabilitas untuk bekerja secara layak. Masyarakat dan perusahaan harus menghapus stigma dan membuka peluang setara bagi penyandang disabilitas.

Hambatan Struktural yang Terbentuk dari Konstruksi Sosial

Mayoritas penyandang disabilitas menghadapi stereotip yang mempersempit peran sosial, dimana masyarakat cenderung menilai mereka hanya mampu melakukan pekerjaan tertentu atau memerlukan bantuan terus-menerus. Seperti tunanetra yang seringkali diasosiasikan hanya dengan profesi tukang pijat, tuli dianggap tidak cocok bekerja di layanan pelanggan, dan penyandang disabilitas intelektual tidak layak bekerja di sektor formal. Stereotip ini kemudian tercermin dalam hambatan struktural, seperti kebijakan perusahaan yang menuntut standar fisik tertentu, lingkungan kerja yang tidak aksesibel, serta kurangnya fasilitas dan pelatihan yang mendukung partisipasi mereka.

Akibat dari Konstruksi Sosial

Konstruksi sosial yang menekankan disabilitas sebagai “kekurangan” dan dipenuhi stigma berdampak langsung pada kehidupan penyandang disabilitas, termasuk rendahnya partisipasi kerja, terbatasnya peluang jenjang karir, upah yang lebih rendah, dan menurunnya kepercayaan diri serta kualitas hidup. Berdasarkan data yang sudah disebutkan, terlihat jelas bahwa hambatan utama bukan fisik atau keterbatasan medis, melainkan struktur sosial, stereotip, dan diskriminasi yang tertanam dalam masyarakat dan sistem kerja. Dengan kata lain, penyandang disabilitas mampu berkontribusi produktif bila lingkungan sosial dan kebijakan inklusif diterapkan, sehingga untuk membuka peluang kerja yang adil, masyarakat perlu menggeser paradigma dari “memperbaiki tubuh” menjadi "memperbaiki stigma dan sistem sosial."

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image