Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anti Tanalinal hasna

Kesenjangan di Balik Tradisi Hadiah Hari Guru

Pendidikan | 2025-12-05 11:59:52

Oleh Anti Tanalinal Hasna

Mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tawa bahagia memenuhi ruang kelas pada peringatan Hari Guru. Di tengah kesibukan para siswa menyiapkan hadiah dan ucapan indah untuk guru mereka, ada seorang anak yang hanya diam menyimpan rasa sedih. Keceriaan perlahan berubah menjadi bisik-bisik tentang siapa yang membawa hadiah paling besar. Jika kita melihat dengan kacamata linguistik, momen sederhana ini bukan sekadar tentang hadiah, tetapi praktik sosial yang mnentangkan jurang kesenjangan di antara para siswa.

Tradisi memberi hadiah pada Hari Guru kini semakin meluas di banyak sekolah. Apa yang awalnya merupakan ungkapan sederhana kini sering berubah menjadi ajang perbandingan yang kerap diikuti siswa. Dari sudut pandang linguistik, hadiah bukan sekadar benda pemberian semata, namun juga menjadi simbol yang mencerminkan status sosial pemberinya. Di sinilah masalah muncul: bahasa simbolik ini secara halus memperlihatkan ketimpangan yang dirasakan siswa yang kurang mampu.

Menurut Ferdinand de Saussure, suatu benda tidak hanya berdiri sebagai objek fisik, melainkan juga membawa makna sosial yang dibentuk oleh masyarakat. Dalam konteks Hari Guru, hadiah bukan sekadar bentuk apresiasi penghargaan yang diberikan, tetapi juga berubah menjadi penanda sosial yang membedakan kemampuan ekonomi siswa. Ketika hadiah mulai diartikan sebagai simbol "siapa yang lebih mampu,"interaksi sederhana di kelas pun kini berubah menjadi arena pembandingan yang tidak semua anak dapat ikuti. Dampak dari simbolisasi hadiah ini nyata dirasakan siswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga sederhana. Dari pengalaman saya ketika mengajar, pernah ada seorang murid yang tampak malu-malu memberikan hadiahnya pada Hari Guru karena merasa hadiahnya tidak sebagus milik teman-temannya. Bahasa yang muncul sehari-hari di kelas, seperti bisikan, gurauan, hingga komentar spontan, ternyata, secara perlahan membentuk label sosial baru. Pertanyaan seperti "hadiahnya apa?" atau "punya yang lain tidak?" menjadi penanda halus yang membedakan murid satu dan lainnya. Dalam kajian sosiologi linguistik, proses ini disebut penandaan sosial, yaitu ketika bahasa menciptakan batas simbolik antar individu. Akibatnya, sebagian siswa mulai merasa malu, menarik diri, dan kehilangan kepercayaan dirinya karena tidak membawa hadiah yang dianggap "layak". UNICEF dalam laporan pendidikan 2023 mencatat bahwa tekanan sosial di sekolah dapat mengganggu kesehatan mental dan konsentrasi belajar siswa. Tekanan semacam ini bahkan mendorong terbentuknya kelompok pergaulan berdasarkan status ekonomi, seperti yang saya amati di banyak sekolah di Indonesia.

Situasi ini menunjukkan bahwa persoalannya bukan pada hadiah itu sendiri, namun ternyata, pada cara maknanya berubah di lingkungan sekolah. Pada titik ini, hadiah bukan lagi sekadar bentuk apresiasi, melainkan berubah menjadi faktor yang menghadirkan tekanan sosial di lingkungan sekolah yang kemudian menggangu kenyamanan belajar sebagian siswa. Padahal, dalam makna dasarnya, hadiah tidak harus berupa barang mahal. Konsep "pemberian" dapat hadir dalam bentuk lain seperti surat ucapan yang tulus, gambar sederhana, atau pesan pendek yang lahir dari rasa hormat kepada sosok guru teladan. Sayangnya, nilai simbolik yang berkembang di sekolah sering kali menutupi makna itu dan justru membebani mereka yang tidak mampu.

Tradisi memberi hadiah pada Hari Guru tentu lahir dari niat baik, namun sudah saatnya kita melihatnya secara lebih jernih. Apresiasi kepada guru tidak boleh berubah menjadi beban sosial yang membatasi ruang nyaman belajar sebagian murid. Karena itu, sekolah, orang tua, dan masyarakat perlu bersama-sama mengembalikan makna Hari Guru pada esensinya: penghormatan yang inklusif dan tidak bertumpu pada nilai materi. Sebenarnya penghargaan itu sendiri dapat diekspresikan melalui kata-kata tulus, kerja sama, dan sikap hormat, atau bentuk sederhana lain yang tidak menyingkirkan siapa pun. Dengan demikian, setiap anak—mampu maupun tidak—dapat merayakan Hari Guru tanpa rasa kecil hati. Di situlah pendidikan menemukan martabat dan bentuk terbaiknya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image