Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Eva Alawiah

Krisis Etika Bermedia Digital dan Retaknya Mental Generasi Muda

Teknologi | 2025-12-05 06:08:57
Teknologi dalam genggaman sekali klik langsung bedampak besar.

Ledakan yang dirakit seorang siswa SMA Negeri 72 Jakarta, yang dilakukan sebagai balasan atas perundungan yang ia terima selama bertahun-tahun, menjadi peringatan keras betapa rapuhnya moral generasi muda kita. Tidak jauh dari sana, seorang siswa di Serpong harus dilarikan ke rumah sakit setelah dipukul temannya sendiri. Di Banten, seorang guru perempuan justru diancam murid ketika mencoba menegakkan aturan kelas. Deretan peristiwa ini bukan sekadar insiden. Ia memperlihatkan wajah baru kekerasan yang tumbuh bersamaan dengan cara anak-anak berinteraksi di ruang digital, tempat ejekan menyebar lebih cepat daripada nasihat, dan rasa malu berubah menjadi hiburan umum.

Dalam ruang maya, perundungan tidak lagi mengenal jam pulang sekolah. Ia melompat dari satu gawai ke gawai lain, hadir dalam komentar pedas, potongan video yang sengaja diperburuk, dan pesan pribadi yang menusuk. Media digital yang seharusnya menjadi saluran belajar justru berubah menjadi ladang subur bagi kekerasan. Ketika rekaman pemukulan dibagikan seperti bahan tertawaan, batas moral perlahan memudar. Anak-anak tumbuh dengan keyakinan bahwa menghina adalah kewajaran, dan mempermalukan adalah bagian dari tren.

Data menunjukkan betapa serius persoalan ini. UNICEF mencatat empat dari sepuluh remaja Indonesia pernah mengalami perundungan, termasuk perundungan digital. Komisi Perlindungan Anak mencatat ratusan laporan serupa setiap tahun. Sementara survei Kementerian Komunikasi mengungkap bahwa sebagian besar remaja merasakan tekanan mental akibat komentar negatif di media digital. Para ahli psikologi memperingatkan bahwa paparan caci maki berulang dapat merusak rasa percaya diri, melemahkan pengendalian emosi, serta menurunkan kemampuan mereka membangun hubungan sosial yang sehat. Psikolog klinis Ratih Ibrahim menegaskan bahwa remaja yang tidak mendapatkan pendampingan emosional di rumah akan lebih mudah terseret pada perilaku agresif di dunia maya. Adapun pakar etika media, Ninik Rahayu, melihat ruang digital sebagai arena tanpa batas moral yang jelas, karena ketiadaan pengawasan membuat kekerasan tumbuh tanpa hambatan.

Padahal secara hukum, negara telah menyediakan perlindungan. Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik melarang penghinaan melalui sistem elektronik, sementara pasal 29 menegaskan larangan ancaman kekerasan. Di sisi lain, Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa kekerasan psikis terhadap anak harus dicegah dan ditindak. Namun penegakan hukum kerap datang terlambat, jauh lebih lambat daripada laju penyebaran konten yang melukai. Dalam banyak kasus, dampak emosional sudah terlanjur menghancurkan rasa aman anak bahkan sebelum laporan dibuat.

Perundungan digital bukanlah semata kesalahan individu. Ia adalah cermin dari kerentanan sosial yang lebih dalam, mulai dari keluarga yang kehilangan kehangatan, sekolah yang lebih sibuk mengejar angka ketimbang membangun karakter, hingga masyarakat yang terbiasa mengolok-olok kekeliruan orang lain. Pakar pendidikan karakter Doni Koesoema mengingatkan bahwa sekolah selama ini terlalu terpaku pada penilaian akademik dan kurang memberi ruang bagi pembiasaan adab. Sementara ahli psikologi perkembangan Fathul Lubabin menilai anak-anak tidak lagi mendapatkan teladan emosional yang memadai sehingga menyelesaikan konflik dengan cara menyerang dianggap lebih mudah daripada berdialog.

Ruang digital kemudian memperkuat semua benih yang tak terselesaikan itu. Ketika seorang anak tumbuh tanpa kemampuan memahami perasaan orang lain, ruang digital memberinya megafon, ia dapat menyerang tanpa melihat wajah lawan bicara, tanpa menyaksikan luka yang ia sebabkan. Ketika kemarahan dipandang sebagai ekspresi sah, media digital mengabadikannya dalam bentuk unggahan yang terbuka untuk dunia. Pada titik ini, teknologi tidak lagi netral. Ia memantulkan nilai yang kita tanamkan, memperbesar yang baik, tetapi juga memperbesar yang buruk dan generasi muda tampaknya lebih sering melihat yang buruk.

Krisis moral ini tidak bisa lagi dianggap sebagai bagian dari proses tumbuh. Kita sedang menyaksikan retaknya fondasi karakter generasi penerus bangsa. Jika hal ini dibiarkan, kekerasan yang tumbuh di ruang digital akan merambat ke ruang kelas, keluarga, pekerjaan, dan ranah publik. Pada akhirnya, bukan hanya anak-anak yang kehilangan arah, tetapi bangsa yang kehilangan pijakan moral.

Mengatasi persoalan ini membutuhkan langkah yang tidak berhenti pada imbauan. Sekolah perlu menjadikan etika bermedia sebagai bagian nyata dari kegiatan belajar, bukan sekadar ceramah tahunan. Anak perlu diajak berdialog tentang pengalaman mereka di dunia maya, memahami konsekuensi kata-kata, serta melatih cara menanggapi konflik tanpa menyerang. Rumah pun harus kembali menjadi pusat pembentukan karakter. Kehadiran emosional orang tua menjadi benteng pertama yang menahan anak sebelum terseret arus komentar yang melukai. Orang tua tidak hanya mendampingi saat anak belajar membaca, tetapi juga saat mereka belajar menggunakan ruang digital dengan bijak.

Platform digital tidak bisa berdiri sebagai penonton. Mereka memiliki kekuatan untuk menurunkan konten kekerasan lebih cepat, memperkuat pengawasan komentar, dan menyediakan perlindungan bagi pengguna muda. Negara pun perlu memastikan bahwa kebijakan perlindungan anak diterapkan dengan tegas, sekaligus mendorong pendidikan karakter menjadi pilar utama dalam kurikulum nasional. Semua langkah ini hanya akan berhasil bila masyarakat memandang ruang digital sebagai ruang hidup bersama, bukan ruang bebas tanpa tanggung jawab.

Pada akhirnya, tantangan etika bermedia adalah tantangan membangun kembali empati. Generasi muda harus kembali merasakan bahwa di balik setiap akun ada manusia yang dapat terluka. Ketika adab menjadi kebiasaan, bukan sekadar pengetahuan, kehadiran teknologi tidak lagi menakutkan. Ia menjadi alat untuk membangun, bukan merusak. Dan dari sinilah kemajuan bangsa dapat dimulai dari keberanian untuk berkata baik, memilih tindakan yang melindungi, serta menolak menjadi penonton kekerasan yang tumbuh di depan mata kita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image