Overthinking: Masalah Kecil yang Diam-Diam Menguras Energi Mahasiswa
Pendidikan | 2025-12-05 05:10:10Percakapan di kantin kampus atau grup pertemanan sering berakhir pada hal yang sama: curhat soal kecemasan. Ada yang takut nilai turun, ada yang gelisah memikirkan masa depan, atau sekadar resah karena merasa tertinggal dari teman sebayanya. Bahkan semakin banyak mahasiswa yang mengaku sulit tidur karena pikirannya terus berputar. Fenomena overthinking ini pelan-pelan terlihat sebagai pola umum yang dialami banyak mahasiswa Indonesia hari ini.
Apa Itu Overthinking?
Overthinking adalah kebiasaan memikirkan sesuatu secara berlebihan hingga melewati batas yang wajar. Beda dengan berpikir kritis yang membantu seseorang mengambil keputusan, overthinking justru membuat seseorang terjebak dalam rasa takut akan hal-hal yang belum tentu terjadi. Pada mahasiswa, kondisi ini sering muncul saat menghadapi tugas besar, keputusan organisasi, atau kekhawatiran mengenai masa depan.
Jika berlangsung berkepanjangan, overthinking membuat seseorang kesulitan fokus dan lebih mudah merasa tidak mampu.
Mengapa Mahasiswa Mudah Mengalaminya?
1. Tekanan Akademik yang Semakin Kompleks
Beban tugas, tuntutan IPK tertentu, presentasi, dan persaingan diam-diam antar teman membuat mahasiswa merasa harus selalu tampil baik. Tekanan ini sering tidak terlihat, tetapi dampaknya terasa sebagai kecemasan yang sulit dijelaskan.
2. Kekhawatiran tentang Masa Depan
Sejak awal kuliah, banyak mahasiswa sudah dihantui pertanyaan “setelah ini mau ke mana?” Situasi dunia kerja yang berubah cepat, tuntutan keterampilan baru, dan persaingan yang ketat membuat kecemasan masa depan semakin nyata.
3. Paparan Media Sosial
Prestasi orang lain yang berseliweran di media sosial sering memicu perasaan tertinggal. Padahal, apa yang terlihat hanyalah potongan terbaik dari hidup seseorang. Namun tetap saja, perbandingan ini membuat banyak mahasiswa merasa tidak cukup baik.
4. Minimnya Ruang Aman untuk Bercerita
Ada mahasiswa yang takut dianggap berlebihan saat bercerita, ada yang merasa masalahnya tidak penting, dan ada yang bingung harus bicara kepada siapa. Akhirnya, semua kecemasan hanya berputar di kepala sendiri.
5. Standar “Harus Sukses Sejak Muda”
Narasi bahwa seseorang harus sukses sebelum usia tertentu membuat banyak anak muda merasa dikejar waktu. Padahal, hidup setiap orang memiliki ritme yang berbeda.
Dampak yang Mulai Terlihat
Fenomena ini bukan lagi sekadar rasa cemas ringan. Ada dampak nyata yang mulai mengganggu kehidupan mahasiswa:
- konsentrasi mudah terpecah,
- pola tidur tidak teratur,
- perfeksionisme yang membuat keputusan sederhana terasa berat,
- kebiasaan menunda karena takut salah,
- kehilangan motivasi untuk memulai apa pun.
Jika tidak ditangani, kondisi ini bisa berkembang menjadi stres berkepanjangan.
Cara Sederhana Mengelola Overthinking
Menghentikan overthinking sepenuhnya memang sulit, tetapi beberapa langkah kecil bisa membantu:
1. Menulis Isi Pikiran
Menuliskan kekhawatiran dapat membantu memilah mana yang realistis dan mana yang hanya ketakutan berlebih.
2. Memberi Batas Waktu untuk Memutuskan
Daripada memikirkan satu hal terlalu lama, beri batas waktu tertentu. Misalnya, putuskan sesuatu dalam dua jam. Cara ini mencegah pikiran berputar tanpa arah.
3. Mengurangi Durasi Media Sosial
Istirahat sejenak dari media sosial dapat memberi ruang bagi pikiran untuk bernafas.
4. Fokus pada Hal yang Bisa Dikendalikan
Alih-alih membayangkan kemungkinan terburuk, lebih baik fokus pada langkah kecil yang bisa dilakukan hari ini.
5. Bercerita kepada Orang Terpercaya
Bercerita tidak selalu menyelesaikan masalah, tetapi dapat mengurangi beban di kepala.
Overthinking di kalangan mahasiswa bukan sekadar tren atau candaan. Fenomena ini mencerminkan tekanan yang dihadapi generasi muda dalam dunia yang serba cepat. Tidak apa-apa merasa lelah, tidak apa-apa butuh jeda, dan tidak harus selalu berjalan secepat orang lain. Setiap orang memiliki proses dan waktunya masing-masing, dan itu bukan sesuatu yang harus dibandingkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
