Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Najjah Allodia

Solidaritas Mahasiswa di Era Digital: Wajah Baru Gerakan Sosial Pasca-Pandemi

Edukasi | 2025-12-02 16:14:50

Pandemi COVID-19 pada tahun 2020 menjadi salah satu momen penting yang mengubah banyak aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan sosial mahasiswa. Wabah ini tidak hanya mengguncang sektor kesehatan, tetapi juga menggeser cara masyarakat berinteraksi dan berorganisasi. Dalam kajian sosiologi, pandemi dapat dilihat sebagai bentuk perubahan sosial cepat (revolusi) yang memaksa masyarakat beradaptasi dengan kondisi baru secara mendadak.

Sebelum pandemi, bentuk solidaritas mahasiswa terlihat jelas melalui aktivitas yang dilakukan secara langsung, seperti demonstrasi, diskusi terbuka, serta kegiatan penggalangan dana di kampus. Kegiatan semacam ini mencerminkan solidaritas mekanik sebagaimana dikemukakan oleh Émile Durkheim, yaitu rasa kebersamaan yang tumbuh karena kesamaan tujuan dan interaksi langsung.

Namun, pembatasan sosial selama pandemi membuat pola solidaritas itu harus berubah. Mahasiswa kemudian menyesuaikan diri dengan memanfaatkan ruang digital sebagai sarana baru untuk menyuarakan kepedulian sosial. Pergeseran ini menandai lahirnya bentuk solidaritas organik, di mana hubungan antarindividu terbentuk melalui kerja sama dalam sistem yang lebih kompleks, meskipun tanpa kedekatan fisik.

Media sosial seperti Twitter, Instagram, Telegram, dan TikTok menjadi ruang baru untuk membangun jejaring solidaritas. Gerakan daring seperti #TolakKenaikanUKT dan #SavePapua menunjukkan bahwa semangat kolektif mahasiswa tetap ada, meski disalurkan melalui dunia maya. Pergeseran ini memperlihatkan bagaimana teknologi mampu menggantikan ruang publik tradisional sebagai wadah ekspresi sosial.

Dari sudut pandang sosiologi komunikasi, kehadiran ruang digital memperluas jangkauan partisipasi masyarakat dan mempercepat penyebaran informasi. Mahasiswa kini dapat berjejaring lintas wilayah bahkan lintas negara untuk memperjuangkan isu-isu sosial tertentu. Hal ini menunjukkan perubahan struktur interaksi sosial, di mana kedekatan lokasi tidak lagi menjadi syarat utama dalam membangun solidaritas.

Namun, hubungan sosial di dunia maya juga memiliki sisi lemah. Berdasarkan teori interaksi simbolik, relasi yang terbentuk tanpa tatap muka cenderung rapuh. Aktivitas digital seperti menekan tombol like, share, atau retweet sering kali hanya menunjukkan dukungan sesaat tanpa memberikan dampak nyata di dunia nyata. Fenomena ini sering disebut sebagai slacktivism, yaitu bentuk aktivisme yang pasif dan dangkal.

Karena itu, tantangan mahasiswa di era digital bukan sekadar menjaga eksistensi solidaritas, tetapi memastikan bahwa semangat kebersamaan tersebut tetap memiliki makna sosial yang kuat dan nyata.

Dilihat dari perspektif perubahan sosial, transformasi solidaritas mahasiswa selama pandemi bukanlah tanda kemunduran, melainkan proses adaptasi terhadap kondisi baru. Mahasiswa mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan situasi sosial yang berubah. Kini solidaritas hadir dalam bentuk diskusi daring, penggalangan dana online, dan kampanye edukatif di media sosial.

Perubahan ini membuktikan bahwa mahasiswa tetap berperan sebagai agen perubahan (agent of change) dalam masyarakat. Mereka tidak kehilangan semangat kritis dan kepedulian sosial, tetapi menyalurkannya melalui medium yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman.

Dari sudut pandang pembelajaran sosiologi, fenomena ini menggambarkan bagaimana sistem sosial dan pola interaksi dapat berubah mengikuti perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat. Dunia digital memang membuka peluang besar bagi gerakan sosial, tetapi juga menuntut kedewasaan dalam menggunakannya.

Mahasiswa perlu menggabungkan semangat kebersamaan lama yang diwujudkan melalui aksi nyata dengan energi baru yang lahir dari kreativitas digital. Keduanya, jika dipadukan dengan seimbang, akan melahirkan gerakan sosial yang kuat, inklusif, dan berkelanjutan.

Solidaritas mahasiswa di era pasca-pandemi tidaklah hilang, ia hanya berubah bentuk. Dari ruang kampus ke layar digital, dari aksi massa ke kampanye daring, semangat sosial itu tetap hidup dan terus menyesuaikan diri dengan zaman.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image