FOMO, Fenomena Gen Z di Era Digital
Edukasi | 2025-12-01 09:30:02Oleh: Fikry Faiz Lahmadi
Mahasiswa Teknologi Sains Data, Universitas Airlangga
Generasi Z dikenal sebagai orang yang membangun dunia digital.
Mereka membuat tempat sendiri di media sosial, dengan Instagram sebagai tempat menyimpan foto, TikTok sebagai tempat berkreasi, dan Twitter sebagai tempat menyalurkan pendapat. Namun, di balik keindahan dunia virtual yang tampak menarik, tersembunyi sebuah masalah yang mengganggu mereka: Fear of Missing Out atau FOMO. Ini bukan hanya perasaan cemas biasa, melainkan sebuah gangguan mental baru dalam tengah lautan informasi yang selalu berubah-ubah.
FOMO adalah cara mengganggu diri sendiri yang membuat Gen Z selalu memperhatikan kehidupan orang lain.
Mereka cemas akan terlewatkan momen-momen menarik, seperti acara yang seru, tren terbaru, atau bahkan gosip terkini. Media sosial menjadi tempat menampilkan kebahagiaan dan Gen Z merasa wajib ikut serta dalam hal itu, meskipun justru harus mengorbankan waktu, energi, dan kesehatan mental mereka.
Fenomena ini menimbulkan apa yang saya namakan 'sindrom validasi visual'.
Mereka tidak lagi mencari kebahagiaan sejati, melainkan hanya ingin menunjukkan gambaran kebahagiaan yang sempurna. Dengan foto liburan yang terlihat menarik, selfie dengan pose terbaik, atau video story konser yang viral. Semua itu adalah cara untuk mendapatkan perhatian, sebuah tanda status digital yang membuat mereka merasa bagian dari 'kelompok eksklusif' yang selalu ramai.
Kecanduan untuk mendapatkan pengakuan ini menciptakan suasana yang penuh kecemasan dan berisiko. Apabila unggahan mereka tidak mendapat tanggapan yang diharapkan, atau terlihat orang lain lebih sukses dalam pameran digital mereka, rasa cemas dan rendah diri akan muncul. Mereka terjebak dalam 'putaran perbandingan' yang tak pernah berhenti. Di media sosial, orang-orang terlihat seperti sedang berada dalam pesta yang tak pernah berakhir, padahal sebenarnya mereka sering merasa tidak benar-benar ada di sana.
Fenomena FOMO menunjukkan paradoks zaman ini: semakin mudah berhubungan, semakin dalam rasa kesepian. Ia adalah pengingat bahwa konektivitas digital yang tanpa batas bisa jadi jebakan untuk kesehatan mental. Generasi Z perlu diajarkan literasi digital, bukan hanya cara menggunakan teknologi, tetapi juga bagaimana melepaskan diri dari tekanan visual dan kembali ke dunia nyata. Sebab, kebahagiaan yang sejati tidak bisa ditemukan di balik layar, melainkan di dalam diri sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
