Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image syamsa dhiyaa

Bahasa Kasar dan Pudarnya Etika Berkomunikasi

Eduaksi | 2025-11-27 01:09:37

Dalam pergaulan modern bahasa kasar sering dianggap sebagai tanda keakraban. Kata-kata bernada makian, istilah yang di plesetkan dan umpatan bernada kotor sering kali jadi bahan lelucon untuk mencairkan suasana. Namun penggunaan kata kasar secara terus menerus, sering kali diikut sertakan dalam percakapan formal tanpa sengaja. Penggunaan kata kasar ini biasanya digunakan sebagai akhiran kalimat dalam bercakap dengan teman sebaya atau teman dekat yang sudah akrab.

Fenomena ini merupakan bagian dari globalisasi, dimana globalisasi membawa banyak sekali perubahan pada masyarakat di dalamnya, masuknya berbagai ideologi, teknologi bahkan kebudayaan dapat merubah tatanan kehidupan dalam masyarakat (Wijayanti, 2021). Generasi muda menjadi generasi yang paling dekat dengan globalisasi kemajuan teknologi digital, generasi muda menjadi generasi yang mudah terpengaruh dan rentan dengan pergeseran moral, menjadi bukti dari adanya kemerosotan atau pergeseran moral yang tampak dari normalisasi penggunaan bahasa kasar.

Paparan konten digital yang menampilkan wacana kasar dan kekerasan verbal seperti beragam ujaran merendahkan, memaki, atau mengejek, menimbulkan persepsi bahwa penggunaan bahasa kasar merupakan hal yang lumrah. Jenis konten seperti ini populer dan di contoh oleh kelompok usia muda, baik itu sebagai kreator ataupun penonton. Akibatnya Generasi muda sebagai pengguna teraktif media sosial berpotensi mengalami perubahan pola perilaku berkomunikasi, seperti cenderung menghindari diskusi secara publik, dan menormalisasikan cyber bullying.

Kebiasaan ini tidak hanya terjadi dalam dunia digital, namun juga menembus interaksi langsung. Miris sekali dimana penggunaan bahasa kasar juga digunakan di lingkungan pendidikan seperti kampus. Akibat terlalu sering menggunakan bahasa kasar saat bergaul, tanpa sadar mahasiswa menggucapkan kata-kata kasar saat mengobrol dengan dosen. Fenomena ini biasanya disebut kelepasan atau keceplosan berkata kasar, tidak hanya terjadi dalam hubungan relasi antara mahasiswa dan dosen, tetapi juga terjadi saat berbincang dengan orang tua, saudara dan pasangan. Fenomena kelepasan ini lama-lama menjadi sebuah kebiasaan, menjadi tanda dari pudarnya batas kesopanan, menipisnya kemampuan menyesuaikan konteks, dan terkikisnya kemampuan dalam menunjukan rasa hormat dalam interaksi formal maupun informal.

Beberapa bentuk kata makian diambil dari nama hewan atau alat kelamin, seperti anjir atau anjay, yang merupakan pelesetan dari kata anjing. Penggunaan kata-kata kasar sering kali dipakai untuk merendahkan atau menghina orang lain. Pelaku biasanya sembunyi dibalik kata “bercanda” agar tidak menyinggung korban sebagai lawan bicara. Sering dianggap hal sepele, namun lawan bicara sering kali merasa tersinggung dengan candaan yang di lontarkan menggunakan bahasa kasar, sehingga terjadi salah paham sampai menyebabkan keretakan hubungan.

Generasi muda yang tumbuh bergandengan dengan kemajuan budaya digital sering kali tidak dapat membedakan ruang santai dan ruang resmi, menjadi bukti dari tergerusnya norma kesopanan dan mengharagi lawan bicara. Lambat laun mereka nantinya sulit memposisikan diri dalam komunikasi digital.

Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk mencegah dan mengurangi kebiasaan tersebut? Pertama kita perlu menyaring konsumsi konten digital, kurangi paparan dari konten-konten negatif yang menggunakan bahasa kasar secra komprehensif. Kedua mengendalikan bahasa dan menjaga sikap. Kita juga harus bijak dalam memilih lingkaran pertemanan. Jika lingkaran pertemanan kita suka menggunaknan bahasa kasar untuk mengumpat ataupun bercanda, kita harus pandai membatasi diri dari kebiasaan buruk tersebut. Penting juga untuk membatasi diri agar kebiasaan itu tidak terbawa keluar dari lingkaran pertemanan.

Kebebasan berekspresi memang bebas untuk diungkapkan, namun itu bukan alasan untuk mengabaikan rasa hormat. Bahasa yang kita gunakan menunjukan siapa kita, dan apa yang kita hormati. Kelepasan yang terlalu sering bukan lah ketidak sengajaan, melainkan tanda dari pergeseran budaya dan lunturnya nilai norma. Maka dari itu kita perlu mengembalikan etika dalam berbahasa, untuk menjaga kualitas diri dan hubungan dengan orang lain, hal ini bisa di mulai dari memilah apa yang ingin kita katakan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image