Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image evameyyy

Minimnya Literasi di Indonesia: Dampak Nyata dan Jalan Keluar yang Mendesak

Kultura | 2025-11-26 13:41:21


Meskipun angka melek huruf formal di Indonesia relatif tinggi, masalah literasi—terutama kualitas membaca dan penggunaan literasi dalam kehidupan sehari-hari—masih menjadi hambatan serius bagi pembangunan manusia, pemerataan, dan ketahanan informasi. Artikel ini membedah data, mengurai dampak sosial-ekonomi, dan menawarkan strategi praktis yang bisa diadopsi pemerintah, sekolah, dan komunitas.Secara formal, banyak indikator menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam menurunkan buta huruf. Data UNESCO Institute for Statistics (UIS) dan sumber nasional menunjukkan angka melek huruf orang dewasa (15 tahun ke atas) berada pada kisaran mid-90-an persen pada dekade terakhir, sedangkan survei BPS (Susenas) melaporkan capaian melek huruf yang juga tinggi pada kelompok umur tertentu. Namun, di balik persentase ini tersembunyi masalah besar: kemampuan membaca fungsional, minat membaca, dan kemampuan literasi kritis (membedakan fakta dan opini, memahami teks kompleks) berada pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Data asesmen internasional memperkuat kekhawatiran kualitas ini. Hasil PISA 2018 menempatkan skor membaca pelajar Indonesia jauh di bawah rata-rata OECD—menunjukkan bahwa meskipun banyak anak "sekolah", kemampuan membaca tingkat lanjut yang diperlukan untuk berpikir kritis dan belajar mandiri masih lemah. Tingkat pencapaian ini berdampak pada kesiapan generasi muda menghadapi tuntutan ekonomi modern

Dampak Minimnya Literasi: Bukan Sekadar Tidak Membaca
Rendahnya literasi bukan hanya tentang jarang membaca buku. Dampaknya jauh lebih luas dan merembet ke berbagai aspek kehidupan.
Pertama, kemampuan berpikir kritis masyarakat menjadi lemah. Ini terlihat dari mudahnya hoaks menyebar, terutama di media sosial. Banyak orang membagikan informasi tanpa verifikasi, seolah-olah apa pun yang tertulis pasti benar.
Kedua, minimnya literasi berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Saat dunia kerja menuntut kemampuan analisis, pemecahan masalah, dan komunikasi, sebagian besar generasi muda justru kesulitan dalam menulis esai sederhana atau memahami instruksi teknis.
Ketiga, dampak ini juga terasa dalam dunia akademik. Banyak mahasiswa, bahkan di perguruan tinggi, masih memiliki kebiasaan membaca secara dangkal. Makna dibaca setengah, referensi tidak dicek, dan akhirnya ketergantungan pada ringkasan atau kutipan tanpa pemahaman menyeluruh semakin meningkat.

Bagaimana Cara Mengatasi Masalah Ini?
Saya percaya solusi tidak bisa hanya diserahkan pada sekolah atau pemerintah. Literasi adalah budaya, dan budaya dibangun bersama.
Namun, ada beberapa langkah penting yang menurut saya perlu dilakukan:
1. Menguatkan peran pendidikan sejak dini.Anak-anak perlu dibiasakan membaca bukan hanya untuk nilai, tetapi sebagai kebiasaan. Program membaca harian, penyediaan buku ramah anak, hingga pendampingan dari guru ataupun orang tua sangat penting.
2. Memperkuat perpustakaan dan ruang literasi publik.Perpustakaan tidak boleh hanya jadi tempat menyimpan buku tua tak tersentuh. Akses harus diperluas—melalui pojok baca, perpustakaan digital, hingga kegiatan seperti bedah buku, diskusi publik, dan klub membaca.
3. Literasi digital dan literasi informasi.Di era internet, membaca saja tidak cukup. Masyarakat perlu kemampuan memilah mana informasi yang valid, relevan, dan kredibel.
4. Membangun budaya membaca dari rumah.Jika keluarga menempatkan membaca sebagai kegiatan bernilai—bukan hukuman atau beban sekolah—perlahan kebiasaan itu tumbuh menjadi gaya hidup.

Rendahnya literasi di Indonesia bukan sekadar masalah pendidikan; ini adalah masalah masa depan bangsa. Negara dengan masyarakat yang mampu membaca, memahami, dan berpikir kritis akan jauh lebih siap menghadapi tantangan global.
Perubahan memang tidak terjadi dalam semalam. Tapi jika setiap sekolah, keluarga, komunitas, dan individu mulai mengambil bagian, saya yakin Indonesia dapat bertransformasi dari negara yang “melek baca secara angka” menjadi negara yang benar-benar memaknai literasi sebagai kekuatan.
Bukan sekadar membaca. Tapi memahami, memikirkan, dan menggunakan pengetahuan untuk memperbaiki hidup.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image