Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Putu Adriana Aprilia Sukmaning Priti

Di Balik Kotak Misteri: Ekonomi Afeksi dalam Industri Blind Box

Humaniora | 2025-11-26 12:32:52

Sebagai generasi yang hidup di era ketika kejutan bisa dibeli, tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan pemandangan deretan kotak mungil bergambar boneka lucu yang tersusun rapi di etalase pusat perbelanjaan. Di depan toko, sekelompok anak muda mengantre sambil memegang gawai, bersiap untuk merekam momen unboxing mereka. Begitu kotak terbuka, sorak kecil pun terdengar, “Hore! dapet yang langka!” Dalam sekejap, momen itu diunggah ke media sosial, menambah deretan video yang berseliweran di media sosial dan menarik lebih banyak orang untuk ikut mencoba “peruntungan.”

Fenomena blind box—membeli sebuah barang tanpa tahu isinya—telah menjadi tren konsumsi baru yang memadukan rasa penasaran, kegembiraan, dan sedikit perjudian emosional. Pop Mart, didirikan Wang Ning pada 2010, merupakan perusahaan yang mempopulerkan kembali konsep blind box. Konsumen tidak tahu boneka mana yang mereka dapatkan sampai kotaknya dibuka. Blind box menimbulkan sensasi menebak-nebak, euforia ketika mendapatkan figur favorit, dan harapan untuk menemukan sesuatu yang “spesial.”

Ekonomi Afeksi: Ketika Perasaan Jadi Komoditas

Blind box merupakan salah satu produk dari ekonomi afeksi, yaitu sistem yang memanfaatkan rasa penasaran dan kepuasan psikologis untuk mendorong konsumsi. Di sinilah industri modern menemukan cara baru untuk menjual — tidak hanya barang, tetapi juga perasaan. Perasaan puas ketika kita mendapatkan karakter boneka yang kita inginkan, atau sebaliknya, rasa kecewa yang justru membuat kita ingin mencoba lagi. Setiap kali hasilnya tidak sesuai harapan, ada dorongan kecil untuk “coba satu lagi”. Ketika kita akhirnya mendapatkan item yang kita inginkan, otak melepaskan dopamin—zat kimia yang memicu rasa senang dan puas. Namun setelah sensasi itu hilang, tubuh secara alami ingin merasakannya lagi. Keinginan untuk mengulang momen kepuasan itulah yang sering mendorong seseorang membeli lagi. Siklus emosional inilah yang diam-diam menjadi bahan bakar utama bisnis blind box.

Rahasia di Balik Kesuksesan Bisnis Blind Box

Kesuksesan bisnis blind box, khususnya di perusahaan Pop Mart, tidak terlepas dari taktik pemasaran yang cerdik. Pop Mart bekerja sama dengan berbagai merek dan desainer eksklusif dalam memproduksi produk mainannya. Labubu, contohnya, merupakan hasil kolaborasi Pop Mart dan seniman ternama, Kasing Lung. Momen viral

boneka monster ini memuncak ketika Lisa BLACKPINK memamerkan boneka Labubu di akun instagram pribadinya. Kini, Labubu menjadi produk blind box yang banyak diburu oleh berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga dewasa.

Di samping itu, membuat blind box edisi terbatas (limited edition) juga merupakan strategi yang sangat ampuh dalam meningkatkan penjualan. Kelangkaan menciptakan ilusi nilai yang lebih tinggi di mata konsumen. Ketika sebuah figur hanya dirilis dalam jumlah terbatas, rasa urgensi dan eksklusivitas pun muncul. Strategi ini efektif memanfaatkan prinsip dasar psikologi konsumen: semakin sulit suatu barang didapat, semakin tinggi keinginannya untuk dimiliki.

Pop Mart memahami bahwa pada dasarnya manusia menyukai kejutan, hal yang langka, dan rasa kemenangan kecil ketika berhasil mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya antrean panjang di setiap toko Pop Mart. Bahkan, Labubu edisi tertentu pernah dijual hingga puluhan juta rupiah. Ironisnya, banyak orang membeli bukan karena benar-benar menyukai karakternya, melainkan karena takut tertinggal tren atau yang dikenal sebagai efek FOMO (Fear of Missing Out). Industri blind box berhasil memanfaatkan fenomena FOMO ini dengan menciptakan rasa urgensi dan eksklusivitas di setiap rilis produknya.

Antara Hobi dan Hasrat

Blind Box dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, blind box dapat menjadi hobi dan sarana ekspresi diri bagi para kolektor. Namun di sisi lain, blind box juga bisa menjerumuskan kita ke dalam lingkaran konsumsi tanpa akhir. Tren yang awalnya hanya hiburan ringan bisa berubah menjadi kebiasaan berbelanja yang sulit dikendalikan.

Namun, apakah benar kita membeli karena suka, atau karena takut tertinggal? Apakah kita mengejar koleksi, atau sebenarnya sedang mengejar validasi? Sering kali, rasa puas itu bukan datang dari figur yang kita dapat, tapi dari perasaan “berhasil”—berhasil menemukan yang langka, berhasil jadi bagian dari tren, atau sekadar merasa tidak ketinggalan.

Blind Box dan Dompet: Siapa yang Mengendalikan Siapa?

Pada akhirnya, tren blind box tak harus selalu dihindari. Seperti bentuk hiburan lain, blind box bisa dinikmati selama kita tahu di mana batasnya. Caranya sesederhana menetapkan anggaran khusus agar kesenangan ini tetap sehat dan tidak mengganggu prioritas finansial lain. Jika tujuannya murni untuk mengoleksi, nikmatilah prosesnya tanpa merasa perlu memiliki semuanya.

Ketika setiap rilis baru mulai terasa seperti kewajiban, mungkin saatnya berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri—siapa sebenarnya yang mengendalikan siapa: kita, atau pasar? Karena sesungguhnya, fenomena blind box mengingatkan kita bahwa industri kini tak hanya menjual barang, tapi juga perasaan. Oleh karena itu, kendali atas emosi dan keputusan belanja tetap menjadi kunci agar kesenangan tidak berubah menjadi jebakan.

Penulis :
Putu Adriana Aprilia Sukmaning Priti
Mahasiswa Fakults Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image