Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Reyhan Abdul Wahab

Matinya Nalar Kritis: Ketika AI Menjadi 'Joki' Legal di Kampus

Pendidikan dan Literasi | 2025-11-24 23:59:33
https://unsplash.com/id/foto/orang-yang-menggunakan-komputer-laptop-hitam-59yRYIHWtzY
https://unsplash.com/id/foto/orang-yang-menggunakan-komputer-laptop-hitam-59yRYIHWtzY

Tenggat waktu pengumpulan tugas tinggal satu jam lagi. Layar laptop masih putih bersih. Namun, tidak ada kepanikan di wajah mahasiswa hari ini. Cukup buka tab baru, ketik kan satu kalimat perintah (prompt) ke dalam ChatGPT atau platform AI lainnya, dan dalam hitungan detik, esai 500 kata tersaji rapi, lengkap dengan struktur argumen yang meyakinkan. Tinggal salin, tempel, kumpulkan. Skenario di atas bukan lagi rahasia, melainkan "rahasia umum" yang terjadi di berbagai kampus di Indonesia. Kehadiran Artificial Intelligence (AI) yang seharusnya menjadi alat bantu (tools), perlahan tapi pasti bergeser fungsi menjadi "joki" legal bagi mahasiswa.

Tentu saja, teknologi diciptakan untuk memudahkan. Namun, ada garis tipis antara dimudahkan dan dimanjakan. Ketika mahasiswa mulai menyerahkan 100 persen proses berpikirnya pada mesin, kita sedang menghadapi bencana intelektual yang tak kasat mata yaitu matinya nalar dan pemikiran kritis.

Ilusi kompetensi

masalah terbesar dari fenomena ini adalah ilusi kompetensi. Mahasiswa merasa "bisa" dan "paham" karena tugas mereka selesai dengan nilai baik. Padahal, proses kognitif seperti membaca jurnal yang rumit, merangkai benang merah antar teori, hingga menuangkan kegelisahan dalam tulisan telah dipangkas habis.

Otak manusia, layaknya otot, perlu dilatih dengan beban "kesulitan". Jika semua beban itu diangkat oleh AI, maka otot nalar kita akan mengalami atrofi (penyusutan). Akibatnya, kita mungkin akan melihat lulusan dengan IPK Cum Laude, namun gagap ketika diminta berpendapat secara spontan atau memecahkan masalah di dunia nyata tanpa bantuan gawai.

Hilangnya "Suara" Penulis

dampak lain yang menyedihkan adalah seragamnya gaya bahasa akademik kita. Tulisan hasil AI cenderung kaku, robotik, dan tanpa emosi. Padahal, esensi dari tugas menulis opini atau esai adalah melatih mahasiswa menemukan "suara" mereka sendiri. Bagaimana cara mereka memandang dunia, bagaimana mereka berempati pada suatu isu, itu tidak bisa direplikasi oleh algoritma.Ketergantungan pada AI membuat mahasiswa kehilangan orisinalitas. Kita menjadi konsumen pasif informasi, bukan produsen gagasan. Kampus yang seharusnya menjadi kawah candradimuka pemikiran liar dan kritis, berisiko berubah menjadi pabrik penginput prompt belaka.

AI Sebagai Co-Pilot, Bukan Pilot

Tulisan ini bukan ajakan untuk menjadi anti-teknologi. Menolak AI di era digital sama naifnya dengan menolak kalkulator di era matematika modern. Kuncinya ada pada penempatan posisi.

Mahasiswa harus menempatkan AI sebagai Co-Pilot (asisten), bukan Pilot (pengendali). Gunakan AI untuk mencari referensi luas, merapikan tata bahasa, atau mencari ide awal saat writer’s block menyerang. Namun, kemudinya analisis, sintesis, dan pengambilan kesimpulan harus tetap di tangan kita.

Sebagai mahasiswa dan calon intelektual masa depan, kita punya tanggung jawab moral. Bukan hanya kepada dosen pemberi nilai, tapi kepada diri sendiri. Jangan sampai kelak kita memegang ijazah sarjana, tapi nalar kritis kita sudah lama mati suri karena terlalu nyaman disuapi teknologi. Mari kembali berpikir, karena di situlah letak kemanusiaan kita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image