Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image nathania clara

Ketidakadilan Ekonomis: Analisis Struktural dari Kekayaan Elite dan Upah Minimum

Gaya Hidup | 2025-11-24 13:12:25



Sumber: freepik.com
Sumber: freepik.com

Sebuah tangkapan layar tagihan restoran mewah senilai Rp 68 juta yang viral di media sosial pada tanggal 18 Oktober 2025 lalu bukanlah sekadar kabar hiburan semata. Itu adalah pusat dari kemarahan sosial yang jujur dan data mentah dari kesenjangan ekonomi struktural di Indonesia. Kemarahan publik tidak terpicu oleh iri hati, melainkan oleh perbandingan yang telanjang: biaya layanan dan pajak dari tagihan fantastis itu, yang diperkirakan mencapai Rp 5 hingga Rp 6 juta, sudah setara atau bahkan melampaui Upah Minimum Provinsi (UMP) bulanan di banyak daerah, dari Jakarta yang UMP-nya sekitar Rp 5,4 juta hingga Yogyakarta yang hanya Rp 2,2 juta.

Ironi ini menyingkap lapisan tipis dari narasi keberhasilan ekonomi Indonesia, mengingatkan kita bahwa pertumbuhan agregat tidak selalu berarti pemerataan. Indonesia memang membanggakan pertumbuhan produk domestik bruto yang stabil, namun di balik angka-angka makro yang memukau, luka lama berupa ketimpangan kekayaan justru semakin menganga.

Argumen utama tentang ketidakadilan ini berakar kuat pada data resmi. Meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Gini Ratio Indonesia berada di kisaran 0.381 pada September 2024, angka yang secara teknis dianggap 'ketimpangan sedang,' data ini hanya mengukur ketidakmerataan pengeluaran. Ketimpangan yang sesungguhnya jauh lebih brutal ketika kita berbicara tentang kepemilikan aset. Laporan dari lembaga internasional, seperti yang pernah dikemukakan oleh Credit Suisse dan Oxfam, secara konsisten menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan konsentrasi kekayaan paling ekstrem di dunia.

Satu persen (1%) orang terkaya di Indonesia pernah dilaporkan menguasai hingga 49-50% kekayaan nasional. Ini bukan lagi sekadar ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan kekuasaan ekonomi. Dalam perspektif yang lebih baru, angka ini masih sangat tinggi, di mana segelintir elite mengendalikan porsi yang tidak proporsional dari sumber daya negara. Tagihan Rp 68 juta, yang merupakan cerminan pengeluaran harian, menunjukkan bahwa jurang antara 1% dan 99% lainnya bukan sekadar angka statistik, melainkan realitas yang bisa disajikan di atas meja makan mewah.

Kesenjangan ini semakin diperparah oleh tekanan ekonomi yang dihadapi oleh mayoritas masyarakat pekerja. Sementara konsumsi barang mewah terus melambung, seperti yang ditunjukkan oleh tagihan tersebut yang di dalamnya termasuk minuman keras impor seperti Belvedere dan Dom Pérignon, upah pekerja di sektor formal dan informal sering kali gagal mengejar laju inflasi. Meskipun inflasi tahunan (y-on-y) pada Desember 2024 tercatat rendah di angka 1,57 persen, sebuah rekor terendah, fenomena harga yang melonjak untuk kebutuhan pokok (volatile food) sering kali tidak tercerminkan secara penuh dalam angka inflasi umum, dan lebih fatal lagi, kenaikan upah minimum tidak selalu berbasis pada kebutuhan hidup layak yang sesungguhnya.

Ketika biaya layanan dan pajak untuk satu kali makan malam elite sama dengan gaji bulanan dua hingga tiga pekerja, itu menegaskan bahwa model pertumbuhan ekonomi kita yang capital-intensive masih cenderung menguntungkan segelintir pemilik modal besar, sementara buruh dan pekerja menengah ke bawah hanya mendapatkan remah-remah.

Lebih lanjut, fenomena ini menyorot kegagalan sistematis dalam distribusi manfaat pembangunan. Kekayaan terkonsentrasi di zona urban seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya, yang menjadi lokasi restoran mahal tersebut, menciptakan jurang lebar antara perkotaan dan pedesaan. Di daerah perkotaan, BPS mencatat Gini Ratio cenderung lebih tinggi, yaitu 0.402 pada September 2024, menunjukkan ketimpangan yang lebih parah di pusat-pusat ekonomi. Ketimpangan ini bukan hanya masalah moral, melainkan ancaman nyata bagi stabilitas sosial dan politik. Ketika akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan modal usaha terfragmentasi berdasarkan kekayaan, mobilitas sosial menjadi macet, dan generasi muda yang miskin akan sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Mereka terperangkap dalam pekerjaan berupah rendah tanpa peluang naik, sementara generasi yang lahir dari keluarga kaya memiliki privilege untuk menikmati hasil pembangunan tanpa hambatan berarti.

Oleh karena itu, tanggapan terhadap tagihan viral ini harus melampaui sekadar makian di media sosial. Ini adalah momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi ulang kebijakan ekonomi secara fundamental. Fokus tidak boleh lagi hanya pada menarik investasi asing semata, tetapi pada inisiatif pemerataan yang radikal. Langkah konkret yang diperlukan termasuk reformasi perpajakan yang progresif dan berani, untuk memastikan kelompok super kaya menyumbang porsi yang lebih besar terhadap anggaran negara, bukan hanya sekadar kepatuhan PPN. Dana yang terkumpul dari pajak progresif ini harus diarahkan secara spesifik untuk program pengentasan kemiskinan.

Upaya mengurangi kesenjangan juga harus menyentuh dimensi pemberdayaan manusia (human empowerment). Investasi besar-besaran dalam pendidikan, keterampilan digital, dan akses terhadap modal mikro sangat penting agar kelompok ekonomi bawah dapat berpartisipasi aktif dalam perekonomian modern. Pemerintah, sektor swasta, dan lembaga keuangan perlu bersinergi dalam membangun ekosistem yang memungkinkan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Pendidikan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja, pelatihan vokasi yang merata, dan digitalisasi UMKM dapat menjadi jembatan menuju pemerataan yang lebih substansial.

Kesenjangan ekonomi pada akhirnya bukan hanya masalah statistik, melainkan tantangan moral dan sosial. Oleh sebab itu, solusi terhadap kesenjangan tidak bisa hanya bersandar pada kebijakan ekonomi, tetapi juga pada komitmen kolektif untuk membangun keadilan sosial. Pemerataan bukan berarti semua orang harus memiliki kekayaan yang sama, melainkan memastikan bahwa setiap individu memiliki peluang yang sama untuk hidup layak, berkembang, dan berkontribusi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image