Peran Orang Tua terhadap Kesehatan Mental Mahasiswa Rantau
Parenting | 2025-11-20 02:25:39Dalam era globalisasi ini, masyarakat sudah tidak asing lagi dengan istilah “merantau.” Banyak pelajar lulusan SMA/SMK sederajat yang memilih untuk keluar kampung demi meneruskan pendidikan tinggi di daerah yang bukan daerah asalnya. Setiap tahun, banyak pelajar yang rela terhalang jarak dengan keluarganya demi menuntut ilmu. Namun, dibalik perjuangan ini, terdapat pengorbanan batin yang harus dilakukan. 
Di perantauan, banyak mahasiswa yang merasa kesepian atau homesick. Terdapat faktor internal dan eksternal yang menimbulkan rasa kesepian ini muncul di dalam diri mahasiswa. Seringkali, mahasiswa tidak memiliki tempat bercerita mengenai permasalahan yang terjadi pada dirinya atau sekadar bercerita tentang hari-harinya, inilah yang disebut faktor eksternal. Faktor internal sendiri seperti tekanan akademik, tekanan lingkungan, kesulitan adaptasi sosial, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang bisa memicu para mahasiswa rantau merasa cemas, depresi, dan muncul gangguan mental lainnya.
Jika hal tersebut tidak ditanggulangi dengan baik, hal tersebut akan berdampak buruk bagi kesehatan mental para mahasiswa dan bisa berakibat fatal. Perasaan yang dipendam terlalu dalam sendirian akan mengakibatkan mahasiswa menarik diri dari kehidupan sosial, mahasiswa akan menutup dirinya dari dunia luar, dan mahasiswa takut untuk berinteraksi dengan orang lain. Kemungkinan yang dapat muncul ini bisa menyebabkan mahasiswa menjadi seorang individualis dan tidak peduli dengan sekitarnya.
Mahasiswa yang telah menarik dirinya dari dunia sosial akan mencari pelarian untuk memecahkan rasa kesepian dalam dirinya. Pelarian tersebut bisa berupa hal baik maupun hal buruk. Jika mahasiswa sudah terkena gangguan mental karena tidak tahu bagaimana meregulasi rasa kesepiannya, mahasiswa tersebut akan merasa kehadirannya di dunia bukanlah apa-apa dan hidupnya tidak memiliki makna berarti. Mahasiswa dapat melukai dirinya hingga kemungkinan terburuk yaitu bunuh diri karena rasa kesepian tersebut sudah mengalahkannya.
Disinilah peran orang tua hadir sebagai bagian yang mengarahkan anaknya, mahasiswa rantau, untuk tetap berada pada jalan yang lurus. Orang tua memiliki peran krusial bagi kesehatan mental mahasiswa rantau. Orang tua dapat menjadi tempat bercerita dan tempat berkeluh kesah oleh anaknya.
Awal masa perkuliahan merupakan masa yang berat bagi mahasiswa rantau. Dari yang awalnya hidup dekat dengan keluarga, harus rela hidup mandiri sendirian di daerah yang belum tentu ia mengenal daerah tersebut. Diperlukan adaptasi lingkungan, budaya, dan sosial demi menjalani masa awal perkuliahan dengan baik. Mahasiswa juga perlu beradaptasi dengan rutinitas perkuliahan yang padat dan lingkungan baru yang seringkali membuat mereka merasa kesepian. Data dari Kementrian Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 20-30% mahasiswa mengalami gangguan mental ringan hingga sedang, dengan angka yang lebih tinggi di kalangan mahasiswa rantau. Tantangan utamanya adalah kurangnya dukungan emosional.
Orang tua dapat menjadi pendukung emosional anaknya yang merantau. Mahasiswa rantau seringkali enggan berbagi masalah dengan orang tua karena ditakutkan membebani orang tua yang sudah berjuang keras membiayai pendidikan mereka. Padahal, nyatanya dengan bercerita kepada orang tua, mahasiswa dapat mengeluarkan perasaan negatif dalam dirinya. Orang tua bisa menjadi teladan empati yang mengayomi dan menuntun anak mereka.
Peran orang tua dalam kesehatan mental mahasiswa rantau dimulai dari komunikasi yang konsisten. Komunikasi ini bisa hanya sekadar basa-basi menanyakan “Apakah Bapak sudah makan di rumah?” atau “Ibu hari ini makan apa?” Orang tua pun juga bisa hadir untuk menanyakan hari-hari anaknya selama perkuliahan, seperti “Nduk, hari ini ada tugas apa saja?” atau “Le, gimana kerja kelompokmu? Sukses ndak?” Basa-basi dalam kehidupan sehari-hari sangat diperlukan untuk menjaga komunikasi antara orang tua dan anak. Setidaknya, orang tua tahu bahwa kabar anaknya baik-baik saja di perantauan. Dalam proses komunikasi ini, perasaan emosional seorang anak dapat divalidasi yang membuat mereka merasa dihargai keberadaannya.
Dalam komunikasi, orang tua juga dilatih untuk mendengarkan tanpa menghakimi keadaan anak mereka. Terkadang orang tua lupa bahwa anak mereka juga membutuhkan solusi yang logis bukan nasihat kaku seperti “Jangan banyak mengeluh, tugasmu hanya belajar!” Dalam buku Better Than Perfect, Elizabeth Lombardo menekankan bahwa dukungan keluarga dapat mengurangi tingkat kortisol (hormon stres) hingga 25%. Data ini menunjukkan bahwa ikatan batin antara orang tua dan anaknya harus tetap terjaga.
Selain itu, orang tua bisa berperan dalam membangun mental anak sejak dini. Sebelum memasuki masa perkuliahan, anak sudah diajarkan keterampilan coping seperti meditasi atau journaling. Pendidikan kesehatan mental di rumah dinilai lebih efektif dibandingkan bergantung pada konselor ketika permasalahan sudah terjadi. Orang tua juga harus peka terhadap tanda-tanda bahaya sebagai gejala awal, seperti penurunan prestasi dan perbedaan tingkah laku pada anaknya yang signifikan.
Bukan hanya emosional, orang tua juga memiliki peran praktis dalam memengaruhi kesehatan mental anaknya. Finansial, misalnya, sering menjadi pemicu stres pada mahasiswa rantau. Mahasiswa rantau seringkali mencemaskan keadaan finansial keluarganya. Mahasiswa rantau berhemat ketat dengan mengorbankan waktu istirahat dengan bekerja paruh waktu, yang justru memperburuk kelelahan mental. Menurut survei dari Universitas Indonesia, 40% mahasiswa rantau mengalami kecemasan finansial. Orang tua dapat mengajak diskusi terbuka kepada anak mereka mengenai finansial keluarga dan juga memberi edukasi kepada anaknya mengenai manajemen keuangan. Hal ini bertujuan supaya anak mengetahui bagaimana mengatur keuangan dengan baik dan mengurangi kecemasan terhadap finansial keluarga.
Orang tua juga memiliki tugas untuk beradaptasi dengan budaya modern. Saat ini, mendengar seseorang memiliki masalah kesehatan mental merupakan hal yang manusiawi. Tidak seperti dahulu, stigma masyarakat mengganggap seorang yang memiliki kesehatan mental itu adalah “orang gila.” Stigma ini yang membuat orang dengan masalah kesehatan mental merasa malu atas keadaan dirinya. Orang tua harus belajar untuk meninggalkan stigma ini dan menerima kondisi anaknya dengan baik.
Orang tua berperan penting dalam mendukung kegiatan kemahasiswaan yang dilakukan oleh anak mereka. Mahasiswa rantau yang diberi perizinan dan kebebasan untuk berkegiatan di kampus sesuai norma dan aturan akan menunjukkan performa diri yang baik. Mahasiswa rantau tidak akan merasa dikekang oleh orang tua mereka dalam beraktivitas dan bersosialisasi dengan mahasiswa lainnya. Hal ini menumbuhkan kepercayaan mahasiswa rantau kepada orang tua mereka yang akan membuat mahasiswa tidak merasa kesepian. Mahasiswa yang mentalnya sehat cenderung lebih inovatif, kolaboratif, dan bahagia semasa perkuliahan.
Supaya cara-cara diatas dapat berjalan secara efektif, tentunya orang tua memerlukan akses ke media penunjang demi menjangkau komunikasi dengan anaknya. Namun, dalam pengimplementasiannya, terdapat beberapa faktor penghambat yang membuat komunikasi antara orang tua dan mahasiswa tidak berjalan baik, seperti penggunaan media sosial dan internet. Orang tua perlu paham bagaimana cara menggunakan internet dan media sosial sebagai alat komunikasi. Faktor penghambat lainnya yaitu akses internet yang belum memadai hingga daerah asal orang tua. Keterbatasan ini kerap menjadi pemutus komunikasi antara mahasiswa dan orang tua. Maka dari itu, teknologi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya demi menunjang terhubungnya komunikasi orang tua dan anaknya.
Dalam pelaksanaannya, peran orang tua jangan dijadikan beban kepada anaknya. Orang tua perlu tahu batasan dan privasi anak mereka. Orang tua harus tahu batasan peran yang diberikan. Beri mereka mahasiswa rantau ruang terbuka dengan batasan normatif tanpa ada kekangan yang membatasi mahasiswa berekspresi. Dari pengalaman pibadi penulis, dukungan orang tua memegang kunci sukses. Di awal masa kuliah yang cukup berat, kata kata penyemangat, seperti “Kamu bisa nduk” atau “Gapapa semua bisa kamu lewati pelan-pelan, usaha untuk enjoy sama apa yang lagi kamu jalanin saja nduk” membuat penulis bertahan. Orang tua yang abai, dampaknya bisa jangka panjng ke kehidupan mahasiswa: mahasiswa dapat mengalami trauma yang membawa masalah dalam hidupnya.
Melihat bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam kehidupan anaknya–dalam konteks ini adalah maasiswa rantau–maka dapat dikatakan bahwa kampanye “Orang Tua Peduli Mental Anak” perlu dukungan dari semua lapisan masyarakat. Pada akhirnya, kesehatan mental mahasiswa rantau adalah tanggung awab bersama, tapi orang tua memegang peran sentral sebagai “rumah” sesungguhnya. Di tengah jarak fisik, jaga ikatan emosional melalui komunikasi, dukungan praktis, dan empati. Penulis yakin, dengan ini, kita tidak hanya menyelamatkan satu orang tetapi juga membangun lingkungan masyarakat yang harmonis dan sehat. Untuk orang tua diluar sana, jangan tunggu anak meminta tolong, mulailah dengan cara sederhana. Lebih baik nencegah dibandingkan mengatasi. Kesehatan mental mahasiswa rantau adalah kunci dalam bertahan hidup dikesendiriannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
