Ahli Gizi, Embel-Embel atau Profesi yang Tak Bisa Digantikan
Desas Desus | 2025-11-19 23:15:52
“Jangan ada embel-embel ahli gizi lagi”. Pernyataan Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal, langsung menarik perhatian publik dan memicu reaksi keras dari para profesional kesehatan, khususnya komunitas ahli gizi. Banyak dari masyarakat dan tenaga ahli gizi yang merasa kecewa atas pernyataan yang disampaikan. Terlebih karena program Makan Bergizi Gratis (MBG) sendiri masih kerap mendapat aduan, termasuk kasus adanya keracunan yang diduga berkaitan dengan pengelolaan makanan yang tidak sesuai standar. Adanya polemik mengenai kebutuhan tenaga gizi, memicu munculnya pernyataan yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Pasalnya, Cucun menyebut bahwa tenaga pengganti ahli gizi bisa diambil dari lulusan sekolah menegah atas (SMA) yang hanya mengikuti pelatihan selama tiga bulan. Pernyataan ini dianggap merendahkan profesi ahli gizi, yang seharusnya mempunyai wewenang untuk ikut andil dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Guru Besar Ilmu Gizi IPB University Prof Hardinsyah, menegaskan bahwa Indonesia sebenarnya tidak kekurangan tenaga gizi. Hardinsyah menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 223 program studi gizi, yang menghasilkan 11.000-12.000 lulusan setiap tahunnya. Sementara itu, jumlah dapur SPPG pun belum mencapai dari target pembangunan sebanyak 30.000 - 40.000 unit. Dengan kondisi tersebut, Hardinsyah yakin bahwa kebutuhan akan tenaga gizi sebenarnya dapat terpenuhi dalam beberapa tahun ke depan. Ia menambahkan, bahwa hambatan utama sebenarnya bukan pada ketersediaan tenaga ahli gizi, melainkan ketidakjelasan mengenai informasi perekrutan. Padahal, profesi ahli gizi mempelajari secara mendalam mengenai hubungan antara makanan, nutrisi, kesehatan manusia, dan bagaimana makanan dapat memengaruhi pertumbuhan penyakit hingga perumusan kebijakan kesehatan masyarakat. Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Permenkes No. 26 Tahun 2013, tenaga gizi di Indonesia terdiri dari dua kategori: Nutrisionis dan Dietisien. Keduanya merupakan profesi kesehatan yang ditempuh melalui jalur pendidikan formal, mulai dari D3 Gizi (A.Md.Gz), D4 Gizi (S.Tr.Gz), S1 Gizi (S.Gz), hingga pendidikan profesi dietisien (RD). Nutrisionis bertugas memberikan edukasi, konseling, serta pendampingan gizi di masyarakat, sementara dietisien memiliki kompetisi lebih lanjut dan mendalam mengenai penanganan gizi klinis, manajemen diet, serta praktik mandiri. Dengan kewenangan tersebut, dietisien harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) yang berlaku seumur hidup serta Surat Izin Praktik (SIP) yang diperpanjang setiap 5 tahun sebagai syarat legal untuk berpraktik, yang tentu saja hal tersebut tidak bisa digantikan oleh pelatihan singkat. Dalam Program Makanan Bergizi Gratis (MBG), ahli gizi memiliki peran yang sangat krusial dalam memastikan tercapainya tujuan program. Keterlibatan ahli gizi dibutuhkan untuk menjaga mutu pelayanan, memastikan makanan yang disajikan memenuhi standar gizi, serta memantau efektivitas program secara menyeluruh. Tanpa kehadiran tenaga gizi yang kompeten, risiko adanya kesalahan dalam pengolahan makanan semakin besar, mulai dari kontaminasi, salah takaran, hingga kejadian keracunan yang beberapa kali kerap terjadi. Oleh karena itu, profesi ahli gizi seharusnya bukanlah hanya sekadar “embel-embel”, melainkan sebuah fondasi yang penting agar program Makan Bergizi Gratis (MBG) benar-benar dapat memberikan manfaat, bukan hanya sekadar untuk memenuhi kewajiban adminstratif. Program Makanan Bergizi Gratis bukan sekadar program makan gratis. Ia adalah bagian dari investasi jangka panjang bangsa ini untuk mencetak generasi sehat, cerdas, dan produktif. Dan untuk mewujudkannya, dibutuhkan orang-orang yang paham dan peduli, salah satunya adalah lulusan ilmu gizi. Maka, inilah waktunya untuk para mahasiswa gizi unjuk kemampuan dan kontribusi untuk program pemerintah supaya menjadi program yang terus memberikan manfaat serta solusi untuk permasalahan kesehatan di Indonesia.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi apakah ahli gizi itu “embel-embel”. Pertanyaanya adalah mampukah bangsa ini maju tanpa peran mereka di baliknya?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
