Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fadya Azmina Putri Wiseno

Mohammad Yamin: Sang Pendramatisasi Sejarah atau Penggagas Nasionalisme?

Sejarah | 2025-11-19 15:34:12

Salah satu tokoh yang dikenal sebagai sarjana hukum, sastrawan, tokoh politik, dan juga penggali sejarah Indonesia, dialah Mohammad Yamin. Yamin lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962, di Jakarta, serta dimakamkan di tanah kelahirannya. Ayah Muhammad Yamin adalah Oesman Bagindo Khatib, Mantri Kopi (koffeiepakhuismeerster). Sedangkan ibunya bernama Siti Saadah yang berasal dari Solok. Moh Yamin juga mempunyai seorang istri bernama R.A. Siti Sundari yang berasal dari Kadilangu, Jawa Tengah.

Riwayat pendidikan Yamin cukup beragam, selepas menamatkan sekolah Melayu, ia masuk ke HIS dan kemudian melanjutkan ke sekolah guru di Bukittinggi. Ia juga pernah menempuh pendidikan di Sekolah Pertanian dan Peternakan di Bogor (1923), meski tidak sampai selesai. Di tahun 1927 ia lulus dari AMS Yogyakarta, lalu melanjutkan ke Sekolah Hakim Tinggi Jakarta dan meraih gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.

Nama Mohammad Yamin sering kali disebut dalam konteks politik dan perumusan dasar negara, tetapi jarang dibicarakan sebagai seorang sejarawan. Padahal, kontribusinya dalam bidang historiografi Indonesia juga tidak kalah penting. Yamin memandang sejarah bukan hanya catatan masa lalu, melainkan alat untuk membangun identitas, kebanggaan, dan semangat nasionalisme. Namun, peran Yamin sebagai sejarawan tidak lepas dari kritikan, sebagian menilai tulisannya terlalu sarat dengan dramatisasi dan cenderung membangun “mitos sejarah”, seperti pada narasi sejarah tentang kolonialisme Belanda selama 350 tahun di Indonesia.

Sejak muda, Moh Yamin aktif menulis karya sastra dan sejarah yang bertujuan menumbuhkan rasa cinta tanah air. Salah satu karya terkenalnya adalah 6000 Tahun Sang Merah Putih, di mana ia menggambarkan perjalanan panjang bangsa Indonesia dengan simbol bendera merah putih. Selain itu, ia juga menyusun Naskah Persiapan UUD 1945. Berbeda dengan sejarawan akademis lainnya yang menekankan metode ilmiah ketat, Yamin justru menulis sejarah dengan gaya literer. Ia menggunakan bahasa yang puitis, penuh dengan simbol, dan kadang bercampur dengan imajinasi. Gaya inilah yang membuat tulisannya mudah dipahami dan menginspirasi banyak orang, tetapi juga mengundang kritik.

Beberapa sejarawan menilai Yamin sering melakukan “dramatisasi sejarah.” Misalnya, klaimnya yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda sejak 350 tahun dianggap lebih sebagai retorika politik ketimbang fakta historis. Muhammad Yamin menjadi salah satu tokoh intelektual yang membangun narasi tentang “350 tahun penjajahan Belanda” di Indonesia. Tujuannya untuk membentuk sistem pengetahuan publik yang bertahan lama, bahkan diajarkan dalam mata kuliah sejarah. Namun, gagasan tersebut ditolak oleh banyak sejarawan, seperti G.J. Resink dalam bukunya Bukan 350 Tahun Indonesia Dijajah (Gani Jaelani, 2018). Meski begitu, daya tarik narasi Yamin tidak bisa diabaikan, tulisannya berhasil membakar semangat nasionalisme di masa pergerakan dan awal kemerdekaan.

Terlepas dari kontroversinya, Yamin tetap memiliki posisi penting dalam historiografi Indonesia. Ia termasuk generasi awal yang mencoba menulis sejarah nasional dari sudut pandang pribumi, bukan kolonial. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, ia membuka jalan bagi munculnya sejarawan-sejarawan berikutnya yang lebih baik. Warisan Yamin bukan hanya berupa buku, tetapi juga gagasan bahwa sejarah harus menjadi bagian dari perjuangan bangsa. Hingga kini, karyanya masih dipelajari, baik untuk menilai kontribusinya maupun untuk mengkritisi metode penulisannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image