Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfatan Zullyansyah

Dua Peluru Melesat: Membaca dan Menulis

Eduaksi | 2025-11-19 11:10:24

Di era digitalisasi, Aktifitas membaca dan menulis seperti satwa langka di hutan konservasi. Mengapa demikian? Minat membaca buku di Indonesia dinilai masih sangat rendah. Faktanya UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo). Maka asumsi yang terjadi melalui fakta ini, bagaimana seorang mahasiswa dapat menulis. Ketika minat untuk membaca di Indonesia hanyalah satu dari seribu orang. Melalui data ini kami akan memantik para saudara untuk meningkatkan budaya membaca, dan menulis yang ada di Indonesia terutama bagi orang yang sudah mendapatkan sebagai Mahasiswa.

Peluru Awal

Membaca, tidaklah asing bagi kita untuk mendengarnya. Membaca merupakan keharusan dan keterampilan utama di zaman era digital ini, untuk mengidentifikasi kebenaran. Di era serba instan, membaca sudah dianggap kuno layaknya manusia purba dalam gua layaknya teori Plato. Maxim gorky pernah mengatakan “Segala sesuatu begitu saja jadi mudah, seseorang akan mudah pula menjadi bodoh”. Serba instan dalam segala memanglah mempermudah manusia untuk mendapatkan sesuatu hal. Tapi dibalik itu semua harus ada nilai penting yang dikorbankan, seperti aktifitas membaca. Dengan akses yang semakin terbuka ini, bukanlah sebuah jalan efektif untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan. Melainkan dengan akses keterbukaan ini transformasi ilmu pengetahuan terhambat. Sentralisasi mahasiswa terhadap kehadiran media massa menjadikan mahasiswa hanyalah spectacle atau penonton terhadap keambiguan realita, seperti yang telah di ungkapkan Guy Deboard. Maka benteng terakhir dari manusia matang ini adalah membaca.

Membaca, menurut Tan malaka merupakan sebuah pencerahan dari keterbelakangan. Hasil akhir dari membaca adalah pemikiran kritis. Pemikiran kritis di era ini sangatlah penting untuk dimiliki setiap individu. Dengan pemikiran ini, individu dapat mengetahui apa yang disebut benar dan salah, baik dan buruk. Di era keambiguan ini, ketika benar dan salah sudah menjadi bias, begitu pula baik dan buruk, pertahanan terakhir bagi manusia bebas adalah membaca, dengan membaca setidaknya individu dapat menjadi tuan atas pemikirannya sendiri seperti P.Freire katakan. Dengan kata lain, manusia yang menjadi tuan atas pemikirannya sendiri dapat membebaskan diri dari kontrol kekuasaan omnipresent seperti Foucoult bicarakan. Kebebasan di era ini menjadi sebuah instrumental penting, kebebasan menurut Fromm “ Kebebasan ialah menciptakan dan membangun, mempertanyakan dan mencoba-coba. Kebebasan semacam ini menghendaki manusia yang aktif dan bertanggung jawab. Bukan seperti budak atau autonom di pabrik”. Maka mutlaklah aktifitas membaca, untuk manusia yang membutuhkan kebebasan dalam hidupnya. Karena kebebasan sejati ialah direbut bukan dihadiahkan, maka rebutlah kebebasan berpikir saudara sekalian dengan membaca.

Kuasa atas membaca. Foucault mendefinisikan Kuasa bukan dalam term “kepemilikan” melainkan kuasa atas pengetahuan. Kuasa di zaman matang ini tidaklah seperti kuasa zaman dahulu yang di representasikan oleh individu otoriter dan represifitas. Akan tetapi kekuasaan bekerja secara implisit atau tak kasat mata dalam mekanisme dengan normalisasi dan praktik aturan disiplin, dengan sistematis ini kuasa menjelma jadi alat kontrol sosial yang membentuk individu patuh terutama dalam instrument pengetahuan. Pengetahuan adalah bentuk kuasa di zaman ini dengan pengetahuan, Freire mengklasifikasikan menjadi dua dominasi, dominasi kuasa pengetahuan dijadikan sebuah alat untuk mematuhkan orang lain, atau menjadikan seseorang bebas dan humanis. Maka dengan faktor kuasa inilah membaca menadi raisong d’etre baru, praksis nyata dalam praktik dominasi dunia untuk merubahnya. Membaca menjadi faktor kuasa dan dominasi, akan tetapi sebagai pemangku humanis marilah kita jadikan kuasa dan dominasi ini untuk tujuan humanisasi, bukan dominasi disicpline and punish seperti Foucault telah peringatkan.

Peluru Kedua

Menulis, peluru terakhir yang dapat menghancurkan kebiasan. Menulis merupakan tingkat lanjutan setelah para individu menyelesaikan aktifitas membaca. Menulis merupakan kegiatan kreatif untuk menuangkan ide, gagasan, dalam suatu kanal tulis. Dengan membaca individu mendapatkan sebuah perspektif baru, maka dengan menulis individu dapat menuangkan kreatifitasnya, dengan menulislah transformasi ilmu pengetahuan dapat terjadi. Kanal menulis dapat kita ketahui seperti puisi, artikel, dsb. Dengan inilah menulis memiliki tujuan sebagai pembeberan informasi, ide, dan gagasan. Menulis juga mempunyai fungsi sebagai media kritik, penyampaian ide, menyampaikan opini dan masih banyak fungsi lainnya.

Menulis ilmiah dan kreatif, dua kegiatan menulis ini mempunyai perbedaan bentuk. Menulis ilmiah, kegiatan menulis ilmiah selalu tersistematis baik dari segi aturan dan penyampaian. Menulis ilmiah berfokus pada objektif, induktif. Sebaliknya dengan menulis kreatif, menulis kreatif berfokus pada imajinatif, juga deduktif. Maka dengan sistemis yang berbeda, tujuan yang dimiliki oleh ilmiah, dan kreatif pun berbeda. Tujuan ilmiah sering berlingkar dalam gagasan, deskriptif, observatif, sebaliknya dengan kreatif sering memutar dalam imajinasi, emosi, opini. Media yang digunakan pun berbeda, Ilmiah seringkali menggunakan artikel sebagai kanal, sedangkan kreatif seringkali menggunakan puisi,prosa sebagai kanal.

Menulis sebagai keabadian. Ketika pembaca mulai mengguratkan tangannya terhadap buku, mulailah penulis itu mati seperti Barthes bilang. Maksud dari Barthes ialah penulis akan mati, akan tetapi karya akan abadi. Menulis juga harus dipahami sebagai hasrat. Jika persepsi ini tidak terjadi, karya akan menjadi fungsional, teralienasi, didorong semata-mata oleh kebutuhan pribadi, seperti kenaikan jabatan, lulus ujian, dsb. Maka tuan Pram pernah berkata “Menulis ialah bekerja untuk keabadian, sebuah sarana untuk mengabadikan ide, pemikiran, dan pengalaman manusia agar tidak hilang ditelan zaman”. Dengan menulis manusia dapat dikenang, dengan menulis manusia dapat keabadian, dan dengan menulis manusia dapat pencerahan.

Menulis dan membaca sebagai pencerahan di era kegelapan baru. Di zaman industrial ketika budaya massa destruktif semakin merajalela, pencerahan disebut kegelapan, kehancuran disebut keselamatan. Maka jalan satunya-satunya untuk penyelamatan diri adalah membaca dan menulis. Teknologi yang semakin maju menjadikan sistem normalisasi baru juga. Membaca dan menulis terkhusus di kalangan mahasiswa menjadi sesuatu yang kuno, sebaliknya kesibukan untuk scrolling media sosial menjadi sesuatu yang normal. Maka haruslah setiap individu memilih dua jalan yang ada di zaman ini. menjadi normal atau tidak normal, tidak normal diartikulasikan sebagai kebebasan dan penganut pemahaman yang mungkin sekarang disebut sebagai tradisionalis yaitu membaca dan menulis. Maka saya pribadi akan memilih menjadi tidak normal.

Kewarasan yang terbalik

Di zaman kegelapan baru ini, pencerahan baru datang dari kedua aktifitas membaca, dan menulis sebagai dua tahap awal. Dengan aktifitas ini terkhusus individu yang memangku jabatan sebagai mahasiswa, terdapat suatu kutukan yang melekat baginya yaitu Agent Of Change, yang berarti manusia berstatus mahasiswa ini terkutuk untuk membawa perubahan. Cara penyelamatan diri dari kutukan ini salah satunya dengan membaca dan menulis. Di era kegelapan ini, pencerahan yang dapat dilakukan individu dengan membaca dan menulis.

Ketika scrolling media sosial dianggap hal normal, sedangkan membaca dan menulis dianggap sesuatu yang tidak normal. Ketika scrolling lebih trending, dibandingkan membaca dan menulis. Maka saya memilih jalan penuh duri dengan membaca dan menulis. Ketidaknormalan seperti Camous beberkan “ Manusia di zaman ini menghabiskan seluruh energinya hanya untuk menjadi normal. Mereka yang dianggap tidak normal diasingkan, dan mengutuki mereka sebagai manusia asing. Itulah yang terjadi pada era ini”. Ketika dominasi telah merajalela dan manipulasi terlestarikan, ketika kegelapan dianggap sebagai pencerahan, ketika pembodohan disebut penyelamatan, ketika yang seharusnya menjadi sebuah keanehan, kewarasan disalahartikan, maka penyelamat yang nyata pada zaman ini ialah membaca, dan menulis.

Sekian tulisan receh ini dilampirkan, segala yang ada merupakan sebuah kejengahan pribadi. Maka saya akhiri dengan ucapan terimakasih bagi para gabuters yang telah membaca, sekian tulisan ini saya akhiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image