Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image cheryl evelyn

Bicara dengan Hati, Merawat dengan Ilmu: Kunci Pelayanan Dokter Hewan yang Efektif

Edukasi | 2025-11-18 22:14:39

Komunikasi adalah fondasi dalam dunia kesehatan. Seorang dokter pasti perlu menjalin komunikasi dengan pasien untuk membantu proses penyembuhan karena dalam berkomunikasi terdapat pertukaran informasi, penguatan kepercayaan, serta penentuan terapi yang tepat. Namun, bagaimana jika pasien yang dirawat tidak dapat diajak berbicara dan mengungkapkan rasa sakit, atau menjawab pertanyaan dokter? Itulah tantangan besar yang dihadapi oleh dokter hewan. Para dokter hewan harus merawat pasien yang tidak bisa berkomunikasi layaknya manusia, sekaligus harus membangun hubungan yang efektif dengan pemilik hewan yang membawa berbagai emosi, ekspektasi, dan keterbatasan.

Dalam kehidupan praktisi, pemilik hewan memiliki peran sebagai "juru bicara" sekaligus pendamping utama pasien. Kemampuan berkomunikasi yang baik dan efektif berkontribusi pada hasil klinis yang lebih optimal, seperti meningkatnya kepuasan klien dan kepatuhan terhadap rekomendasi dokter hewan. Karena hewan tidak dapat menyampaikan keluhannya, dokter hewan mengandalkan informasi dari pemilik sekaligus hasil pengamatan klinis. Di sisi lain, pemilik juga mengandalkan dokter untuk memahami apa yang sedang dirasakan hewan kesayangannya.

Supaya dokter hewan bisa memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas, maka komunikasi terapeutik menjadi hal yang penting. Komunikasi terapeutik adalah bentuk interaksi yang dibangun dengan tujuan mendukung proses penyembuhan serta menciptakan suasana yang menenangkan dan penuh kepercayaan. Selain itu, komunikasi terapeutik juga mampu membangun hubungan positif antara dokter dengan klien yang dapat meningkatkan efek penyembuhan. Di dalam komunikasi terapeutik, penyampaian informasi harus jelas, mudah dipahami, dan tidak menggunakan istilah medis yang membingungkan. Pendekatan seperti ini terbukti meningkatkan penerimaan terapi dan mengurangi kecemasan klien.

Selain itu, sikap dokter hewan juga menjadi penentu keberhasilan komunikasi. Dalam praktik, dokter tidak cukup hanya fasih berbicara, tetapi mereka juga harus menunjukkan empati secara verbal dan nonverbal. Tatapan yang bersahabat, gestur tubuh yang terbuka, nada suara disesuaikan dengan klien, serta sentuhan lembut saat memeriksa hewan menciptakan rasa aman bagi pemilik. Pemilik hewan cenderung lebih terbuka dan percaya apabila mereka merasa didengarkan dan tidak dihakimi. Secara verbal, dokter juga perlu menjelaskan rencana perawatan, memberi ruang bertanya, dan menghindari nada bicara yang menggurui.

Pada kenyataannya, dalam berkomunikasi, masih banyak dokter hewan yang menggunakan pendekatan paternalistik. Pendekatan ini lebih difokuskan kepada dokter hewan, di mana dokter hewan yang lebih banyak berperan dalam sesi berkonsultasi. Nyatanya, pendekatan yang berpusat kepada dokter hewan terbukti tidak efektif dan membuat klien menjadi kurang percaya dengan dokter hewan. Sebagai alternatif, pendekatan yang berpusat kepada klien terbukti lebih efektif. Salah satu teknik yang masih belum banyak digunakan namun terbukti efektif adalah Motivational Interviewing (MI). Metode ini adalah metode konseling yang berfokus ke klien dengan tujuan untuk meningkatkan motivasi dan komitmennya untuk melakukan perubahan. Pendekatan ini tidak bersifat menggurui tetapi dokter hewan berperan menjadi pembimbing untuk membantu mengatasi keraguan dan kebingungan yang dialami oleh klien. Untuk mencapai hasil yang baik, MI dilakukan dengan menerapkan OARS; Open question, Affirmations, Reflective listening, dan Summarizing. Selain itu, seluruh proses tersebut mementingkan empati, kemitraan, dan kebebasan klien dalam mengambil keputusan (Enlund et al., 2021).

Di luar keterampilan berkomunikasi, seorang dokter hewan juga perlu siap dalam menghadapi dilema emosional dan etika. Dokter hewan sering menghadapi situasi berat, misalnya ketika hewan dalam kondisi kritis tetapi pemilik ragu melakukan tindakan karena biaya, atau ketika eutanasia menjadi pilihan terakhir untuk mengakhiri penderitaan hewan. Ada pula kasus hewan agresif, hewan liar, hewan ternak dengan nilai ekonomi tinggi, atau pemilik yang panik dan menyalahkan diri sendiri. Situasi ini menuntut dokter hewan mengelola emosinya sekaligus tetap rasional. Penelitian menunjukkan bahwa keputusan dokter hewan dalam kondisi seperti ini tidak hanya dipengaruhi oleh pertimbangan klinis, tetapi juga oleh empati, rasa tanggung jawab, dan tekanan moral dari pemilik. Emosi merupakan hal yang tidak terpisahkan dari proses pengambilan keputusan, terutama ketika pilihan medis bertabrakan dengan nilai kemanusiaan, keterbatasan ekonomi, atau kesejahteraan hewan. Justru karena adanya unsur emosional tersebut, dokter hewan dituntut untuk menyeimbangkan logika profesional dengan sensitivitas terhadap kondisi klien dan pasien (Richards et al., 2020).

Pada akhirnya, pekerjaan seorang dokter hewan tidak hanya melakukan tindakan medis, tetapi juga kemampuan untuk memahami, mendengar, dan menjembatani kebutuhan pasien dan pemiliknya. Komunikasi yang empatik, didukung ilmu dan kepekaan emosional, menjadikan dokter hewan sebagai penyembuh, pendidik, penenang, dan penengah dalam situasi yang kompleks. Dengan mengutamakan hubungan manusiawi, keterampilan komunikasi, serta keseimbangan antara logika dan empati, dokter hewan tidak hanya merawat kesehatan hewan, tetapi juga memperkuat kepercayaan dan kesejahteraan masyarakat yang mencintai mereka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image