Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image A.S.Aisyah

Raja Gen Z di Jantung Keraton Kasunanan Surakarta: Tradisi, Takhta, dan Dunia Digial

Sejarah | 2025-11-17 08:02:03

Dari balik dinding biru yang legendaris, sejarah tengah menulis babak baru : seorang raja muda dari generasi digital naik takhta.

Keraton Kasunanan Surakarta

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram atau kini dikenal sebagai Paku Buwono XIV, raja gen Z pertama di Keraton Kasunanan Surakarta.

Usianya baru 23 tahun, dimana pada usia ini banyak orang masih identik dengan masa pencarian jati diri, namun bagi Hamangkunegoro justru menjadi awal tanggung jawab yang besar. Ia tumbuh di antara dua dunia, budaya jawa dan algoritma media sosial, kini keduanya bertemu di satu titik takhta keraton.

Sebelum Paku Buwono XIII wafat, beliau sempat berpesan bahwa Hamangkunogoro adalah penerus sahnya. Prosesi penobatan berjalan dengan sederhana namun penuh makna. Doa para sesepuh dilantunkan dengan diiringi tabuhan gamelan yang menggema serta sang raja muda yang menundukkan kepala di hadapan pusaka keraton merupakan sebuah simbol peralihan dari tradisi menuju zaman baru.

Sebagai lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan kini tengah menempuh pendidikan magister di Universitas Gajah Mada, tentunya Paku Buwono XIV tidak asing dengan dunia teknologi dimana segala hal bisa di akses lewat gawai. Ia sangat memahami bagaimana media sosial bisa membangun atau justru menjatuhkan citra seseorang. Bahkan sebelum naik takhta, Hamangkunegoro sempat jadi sorotan publik karena unggahan yang bernada sindiran terhadap pemerintah.

"Ingin menyampaikan terima kasih kepada semua masyarakat dan dinas-dinas yang terkait yang sudah membantu suksesnya lancarnya prosesi Jumenengan Nata Paku Buwono XIV. Semoga harapan saya semoga ini menjadi awal atau enggak kepemerintahan yang baru yang benar-benar bisa dapat mengikuti zaman tetapi tidak meninggalkan adat yang ada di Keraton," katanya di Keraton Kasunanan Surakarta, Sabtu (15/11/2025). Kalimat tersebut terlihat sederhana namun tersirat makna yang dalam. Ia ingin menjembatani antara generasi era adat dan dunia serba digital. Langkahnya bukan tanpa resiko, namun itu menunjukkan bahwa semangat baru untuk menciptakan tradisi yang tidak kaku tapi mampu untuk menyesuaikan zaman yang berkembang.

Tapi tentu tidak semua hal bisa berjalan mulus. Di era saat ini yang semuanya serba digital, sesuatu yang telah dianggap sakral bisa sangat mudah dianggap sebagai konten hiburan. Ada kekhawatiran bahwa tradisi malah dikemas terlalu ringan yang menyebabkan hilangnya makna aslinya. Keraton bukan hanya soal lokasi wisata, namun di dalamnya terdapat bebagai nilai nilai kehidupan dan ritual yang sudah dijaga turun temurun.

Ada Konflik?

Namun dari pengangkatan Paku Buwono XIV ini terjadi konflik internal perebutan takhta Keraton Kasunanan Surakarta. Hamangkunegoro menyatakan bahwa sanggup untuk menjadi seorang raja Keraton Kasunanan Surakarta. “Atas perintah dan titah Sri Susuhunan Paku Buwono XIII, saya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro, pada hari ini, Rabu Legi, 14 Jumadil awal Tahun Dal 1959 atau 5 November 2025, naik takhta menjadi Raja Keraton Surakarta Hadiningrat dengan gelar Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono XIV” tutur Hamangkunegoro, dilansir dari Kompas.com (5/11/2025). Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Timoer Rumbaikusuma Dewayani yang merupakan kakak tertua Hamangkunegoro menegaskan bahwa pengukuhan diri Gusti Purbaya sudah sesuai dengan adat tradisi Keraton Kasunanan Surakarta.

Pada 12 November 2025, undangan penobatan Raja Paku Buwono XIV telah beredar yang akan dilaksanakan pada Sabtu (15/11/2025). Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Timoer Rumbay Kusma Dewayani yang sebagai ketua pelaksana acara tersebut telah menandatangani dan resmi diterbitkan pada acara Jumeneng dalem Keraton Kasunanan Surakarta.

Namun pada dua hari sebelum penobatan Paku Buwono XIV berlangsung, pihak keluarga besar Kerajaan Solo menyatakan bahwa KGPH Hangabehi sebagai penerus takhta yang merupakan putra laki laki tertua dari (Alm) Paku Buwono VIII. Perwakilan keluarga Keraton Kasunanan Surakarta menobatkan KGPH Hangabehi sebagai Raja Pakubowono XIV karena apabila tidak ada permaisuri, maka penerus takhta kerajaan jatuh kepada putra laki laki tertua agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan dalam kepemimpinan Keraton Kasunanan Surakarta.

Sebagai informasi tambahan, (Alm) Raja Paku Buwono XIII telah menikah sebanyak tiga kali dalam hidupnya. Istri pertamanya adalah Raden Ayu Endang Kusumaningdyah dengan dikaruniai tiga anak, yaitu Gusti Raden Ayu (GRAy) Timoer Rumbai Kusuma Dewayani (putri), GRAy Devi Lelyana Dewi (putri), dan GRAy Dewi Ratih Widyasari (putri). Istri keduanya bernama Winari yang dikaruniai dengan tiga anak juga, yaitu (Alm) BRAy Sugih Oceania (putri), GRAy Putri Purnaningrum (putri), dan GRM Suryo Suharto/GPH Mangkubumi/KGPH Hangabehi (putra). Dan istri terakhirnya yakni dengan Kanjeng Gusti Ratu Paku Buwono dengan dikaruniai anak GRM Suryo Aryo Mustiko/Gusti Pangeran Haryo (GPH) Purboyo/ KGPH Purbaya/KGPAA Hamengkunegoro. Pada pernikahannya yang ketiga ini, bertepatan dengan (Alm) Paku Buwono XIII naik takhta sehingga Kanjeng Gusti Ratu Paku Buwono ditetapkan sebagai permaisuri.

Hal perebutan takhta ini yang memicu adanya 2 raja di Keraton Kasunanan Surakarta. Konflik kepemimpinan ini juga mengingatkan peristiwa yang serupa pada 2004 saat penobatan (Alm) Paku Buwono III menjadi pemimpin Keraton Sukrakarta dan memunculkan raja kembar.

Ini menjadi tantangan pemimpin baru di mana Paku Buwono XIV harus bisa menjadikan sebuah warisan yang tetap relevan tanpa menghilangnya kedalaman filosofinya. Keseimbangan antara asli dan terjangkau menjadi kunci dalam menyatukan perbedaan. Dan sejauh ini publik tampaknya merespon sangat positif.

Sebagai bagaian dari generasi muda yang tumbuh di dunia serba digital, pengangkatan Paku Buwono XIV bukan sekedar peristiwa tradisi adat melainkan simbol dari perubahan cara adat dalam melestarikan budaya di zaman yang terus berkembang. Gen Z bukan generasi yang cuek pada sejarah, meraka hanya membutuhkan jembatan untuk melakukan komunikasi antara adat, budaya, tradisi, dan teknologi cepat guna.

“Maksud dari melestarikan budaya adalah agar nilai-nilai luhur budaya, yang ada di dalam suatu tradisi dapat tetap dipertahankan, meskipun telah melalui proses perubahan bentuk budaya” (Qothrunnada, 2021). Kutipan alimat tersebut mengingatkan kita bahwa pelestarian budaya tidak boleh hanya berfokus pada bentuk budaya lama, tetapi juga harus melestarikan nilai nilai luhur yang terkandung dalam tradisi serta memahami makna yang ada di dalamnya.

Berharap di era Paku Buwono XIV menjadi raja bukan berarti hanya duduk di singgana, tetapi memimpin percakapan budaya di ruang publik dan mampu menjadikan media sosial menjadi jembatan edukasi dan ruang dialog budaya yang lebih dinamis.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image