Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tasya Nuura Pradipta

Normalisasi Veneer Ilegal: Saat Hasrat Estetika Menggeser Etika Kedokteran Gigi

Eduaksi | 2025-11-16 15:20:17

Normalisasi praktik veneer ilegal menjadi cermin pergeseran nilai dalam dunia kedokteran gigi. Hasrat estetika kini sering kali melampaui pertimbangan etika dan kesehatan. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana standar kecantikan instan perlahan mengaburkan batas profesionalitas tenaga medis. Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial dibanjiri iklan veneer gigi dengan harga terjangkau yang menjanjikan gigi putih dan rapi hanya dalam hitungan jam.

Veneer gigi (Sumber: alodokter.com)
Veneer gigi (Sumber: alodokter.com)

Veneer gigi sendiri umumnya terbuat dari resin atau porselen yang akan menempel secara permanen di gigi. Veneer hanya menutupi bagian depan gigi, berbeda dengan implan gigi atau crown. Melalui prosedur pemasangan veneer, warna gigi dapat menjadi lebih cerah, bahkan dapat membuat senyum seseorang terlihat lebih simetris dan meningkatkan rasa percaya diri saat berinteraksi di lingkungan sosial maupun profesional.

Secara global, permintaan veneer meningkat pesat. Sebuah laporan dari Impressions Dental (2025) menyebut sekitar 8% masyarakat Amerika telah menggunakan veneer, dengan peningkatan prosedur hingga 250% dalam beberapa tahun terakhir. Tren serupa kini merambah Indonesia. Sayangnya, belum ada data pemerintah yang secara khusus mencatat praktik veneer ilegal. Kekosongan data ini menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap prosedur estetika gigi yang dilakukan di luar ranah profesional.

Maraknya praktik veneer ilegal juga menunjukkan lemahnya regulasi di bidang kedokteran gigi. Tidak adanya mekanisme pengawasan yang ketat terhadap tukang gigi membuat praktik berisiko ini mudah tumbuh. Situasi ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga etika profesi, ketika tindakan medis diperlakukan sebagai komoditas estetika semata tanpa pertimbangan kesehatan pasien.

Godaan instan dari media sosial telah berhasil mendorong banyak masyarakat untuk menggunakan veneer. Banyak orang rela mengeluarkan biaya antara satu hingga lima juta rupiah demi mengikuti tren tersebut. Ironisnya, sebagian besar masyarakat menjadikan tingginya biaya sebagai alasan untuk menunda perawatan ke dokter gigi. Namun, ketika ditawarkan veneer dengan harga miring di klinik abal-abal, banyak yang justru tergiur tanpa peduli siapa yang melakukan prosedurnya. Sikap ini menunjukkan paradoks masyarakat yang menganggap perawatan dokter gigi mahal, tetapi berani mengorbankan kesehatan gigi di tempat yang belum jelas legalitasnya.

Bagi masyarakat awam, veneer bisa saja disebut sebagai prosedur kosmetik dan perawatan gigi biasa. Perawatan tanpa prosedur yang sesuai dapat menyebabkan pengikisan sebagian kecil lapisan enamel gigi dapat sehingga gigi lebih sensitif terhadap suhu dingin dan panas. Dampaknya bisa sangat fatal, seperti gigi ngilu hingga kerusakan gigi yang berakhir pada kematian jaringan. Jika digali lebih dalam lagi, tidak semua orang cocok menggunakan veneer. Dokter gigi perlu melakukan pemeriksaan dan pertimbangan sebelum mengambil tindakan guna memastikan kondisi medis pasien.

Prosedur pemasangan veneer yang dilakukan tanpa standar medis kerap berujung pada komplikasi serius, seperti kerusakan enamel, infeksi, dan kehilangan gigi permanen. Sejumlah dokter gigi juga melaporkan peningkatan kasus koreksi veneer gagal yang sebelumnya dikerjakan oleh tenaga non profesional. Rendahnya literasi kesehatan masyarakat membuat banyak korban tidak menyadari bahwa mereka memiliki hak hukum atas kasus malpraktik semacam ini. Di sisi lain, lemahnya penegakan regulasi dan tingginya permintaan pasar menjadikan praktik veneer ilegal terus tumbuh tanpa kendali.

Salah satu aspek yang jarang disorot dari maraknya veneer ilegal adalah paradoks keadilan sosial bagi peserta BPJS. Ketika korban veneer ilegal mengalami kerusakan gigi parah, mereka tetap bisa berobat ke fasilitas kesehatan dengan memanfaatkan BPJS. Padahal, biaya perawatan akibat kerusakan gigi, seperti perawatan saluran akar, pencabutan, pemasangan gigi palsu, dan penanganan infeksi, bisa lebih mahal dari veneer itu sendiri. Artinya, beban biaya yang muncul akibat keputusan yang salah justru ditanggung oleh masyarakat luas pemegang BPJS melalui iuran rutin. Situasi ini jelas menimbulkan pertanyaan etis: adilkah masyarakat menanggung biaya dari pilihan yang sebenarnya bisa dihindari?

Melihat rumitnya persoalan veneer ilegal, tentu kita tidak bisa hanya berhenti pada kritik semata. Diperlukan langkah nyata yang melibatkan berbagai pihak agar fenomena ini tidak terus menimbulkan korban sekaligus membebani sistem jaminan kesehatan. Pemerintah bersama PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) perlu memperketat pengawasan terhadap “klinik abal-abal” yang menawarkan veneer murah. Sanksi pidana dan administratif harus diberlakukan secara tegas, bukan sekadar imbauan. Selain itu, BPJS sebaiknya hanya menanggung perawatan gigi yang berasal dari kebutuhan medis, bukan akibat tindakan estetik ilegal, agar terdapat efek jera bagi pelaku dan pengguna jasa. Pemerintah dapat membentuk sistem pelaporan publik yang memudahkan masyarakat melaporkan praktik ilegal secara anonim.

Pada akhirnya, masyarakat juga perlu lebih kritis dalam memilih layanan kesehatan gigi. Senyum indah memang berharga, tetapi kesehatan jauh lebih mahal. Jangan biarkan godaan veneer ilegal merenggut keduanya sekaligus.

- Mahasiswa Program Studi S1-Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Tahun 2025 -

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image