Budaya K3: Sekedar Aturan atau Hanya Formalitas di Lapangan?
Eduaksi | 2025-11-15 12:24:43
Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sering kali terlihat indah di atas kertas. Aturan tertulis jelas, prosedur lengkap, dan alat pelindung diri (APD) tersedia. Perusahaan pun tidak jarang menampilkan komitmen mereka terhadap keselamatan melalui slogan, poster, hingga kampanye internal. Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbeda jauh dari apa yang tertulis. Banyak pekerja masih melanggar aturan, dan budaya K3 hanya dijalankan ketika ada atasan yang mengawasi.
Mengapa begitu?
sebagian pekerja masih memandang K3 sebagai beban tambahan, bukan kebutuhan. APD dianggap sekadar formalitas, komunikasi dianggap tidak penting, dan prosedur kerja aman sering diabaikan demi kecepatan atau kenyamanan. Ada anggapan bahwa selama tidak terjadi kecelakaan besar, pelanggaran kecil bisa ditoleransi. Padahal, setiap pelanggaran kecil bisa menjadi awal dari risiko besar seperti cedera, kehilangan nyawa, atau kerugian perusahaan.
Fenomena ini menjadi tantangan besar bagi petugas HSE (Health, Safety, Environment). Mereka tidak hanya dituntut menegakkan aturan, tetapi juga mengubah pola pikir pekerja. Bagaimana caranya agar K3 tidak hanya dijalankan saat ada pengawasan, melainkan menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari? Tantangan ini semakin berat ketika budaya formalitas sudah mengakar. Pekerja patuh hanya ketika ada inspeksi atau kunjungan manajemen, tetapi begitu pengawasan longgar, aturan K3 dianggap tidak relevan.
Di lapangan, pelanggaran berulang menjadi pemandangan sehari-hari. Helm dilepas, sarung tangan tidak digunakan, masker diturunkan, bahkan ada yang bercanda di area berisiko tinggi. Semua ini menunjukkan bahwa K3 belum benar-benar menjadi kesadaran. Tekanan produktivitas juga memperparah keadaan. Target kerja yang tinggi membuat sebagian pekerja mengabaikan prosedur keselamatan demi mengejar kecepatan. Akibatnya, keselamatan kerja sering dikorbankan demi hasil cepat.
Di sinilah peran komunikasi menjadi sangat penting. Sosialisasi K3 tidak boleh berhenti pada briefing singkat atau instruksi sepihak. Pekerja perlu memahami alasan di balik aturan, bukan sekadar menjalankannya karena takut pada pengawasan. Komunikasi dua arah, dialog terbuka, dan teguran yang membangun dapat menjadi senjata utama HSE untuk menegakkan budaya K3. Tanpa komunikasi yang efektif, aturan hanya akan menjadi slogan yang kehilangan makna.
Budaya K3 sejati bukanlah sekadar prosedur atau slogan di dinding perusahaan, melainkan kesadaran kolektif yang dijalankan setiap hari tanpa bergantung pada kehadiran atasan. Keselamatan kerja harus menjadi bagian dari identitas perusahaan, bukan formalitas untuk memenuhi regulasi, karena nyawa pekerja terlalu berharga untuk digantungkan pada aturan yang hanya hidup di dokumen. Keselamatan bukan hanya soal APD, tetapi juga sikap, komunikasi, dan komitmen bersama. Jika budaya K3 benar-benar dijalankan, maka perlindungan nyawa lahir dari kesadaran di lapangan, dan meski tantangan HSE besar, dengan komunikasi yang kuat, teladan manajemen, serta komitmen kolektif, budaya K3 bisa hidup nyata di tempat kerja.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
