Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image leony ecca

Paradoks Panen Melimpah, Mengapa Harga Beras Tetap Mahal?

Info Terkini | 2025-11-14 07:44:47
Indonesia dikenal luas sebagai negara yang berbasis pertanian. Setiap tahunnya, pemerintah dengan penuh kebanggaan mengumumkan hasil produksi padi yang berlimpah, bahkan berlebih. Namun, di balik itu, masyarakat harus berhadapan dengan realitas pahit: harga beras tidak pernah turun. Di saat berita tentang stok yang aman dan panen besar-besaran, harga beras malah terus naik. Dilema ini menunjukkan masalah serius dalam pengelolaan pangan di tingkat nasional.

Informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa pada 2024, area panen padi mencapai 10,05 juta hektare dengan hasil gabah kering giling (GKG) sebanyak 52,66 juta ton, yang setara dengan 30,62 juta ton beras untuk konsumsi. Hingga November 2025, produksi beras dalam negeri diperkirakan akan mencapai 33,19 juta ton, atau kelebihan sekitar 4–5 juta ton dari kebutuhan nasional yang berkisar 27–28 juta ton.

Kementerian Pertanian mencatat bahwa stok beras nasional pada April 2025 berada di puncak tertinggi dalam 23 tahun terakhir, yaitu 3,4 juta ton. Angka ini menandakan bahwa dari segi jumlah, Indonesia tidak mengalami defisit beras. Tetapi faktanya, harga beras di pasar malah mencapai rekor tertinggi baru.

Pada pertengahan 2025, harga beras medium di level konsumen rata-rata mencapai Rp15.400 per kilogram, sedangkan beras premium hampir menyentuh Rp17.000 per kilogram. Padahal, Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras medium yang ditentukan pemerintah hanya Rp12.500 per kilogram.

Data BPS menunjukkan bahwa lebih dari 200 kabupaten/kota mengalami peningkatan harga beras sepanjang Juli 2025. Bahkan di beberapa wilayah, harga jual eceran mencapai Rp14.500 hingga Rp15.000 per kilogram. Kenaikan ini membuat beras menjadi kontributor utama inflasi bahan pangan, yang pada Juli 2025 mencapai 5,12 persen secara tahunan.

Situasi ini membuktikan bahwa kelebihan produksi tidak menjamin stabilitas harga beras. Masalah beras di Indonesia bukanlah di lahan sawah, melainkan pada sistem distribusi dan pengelolaan yang masih kurang efisien.

Penyebab utama mahalnya harga beras adalah jalur distribusi yang rumit. Dari petani sampai ke pembeli akhir, beras melalui banyak pihak perantara: pedagang tengkulak, pabrik penggilingan, distributor, dan penjual. Setiap tahap rantai mengambil bagian keuntungan. Akibatnya, harga di pasar bisa melompat dua kali lipat dari harga gabah di tingkat petani.

Ironisnya, saat harga beras di pasar meningkat, petani tidak secara otomatis mendapat manfaat. Kebanyakan petani terpaksa menjual hasil panen segera setelah dipanen dengan harga yang cukup rendah karena tidak memiliki fasilitas penyimpanan. Petani tidak memiliki kekuatan tawar di pasar yang sudah dikuasai oleh pelaku menengah dan besar.

Masalah ini diperburuk oleh infrastruktur pasca-panen yang lemah. Menurut Outlook Padi 2024 dari Kementerian Pertanian, kerugian hasil pasca-panen (post-harvest loss) masih sekitar 10–12 persen. Banyak petani tidak memiliki peralatan pengering, gudang modern, atau akses transportasi yang memadai. Akibatnya, mereka menjual cepat untuk menghindari kerugian, sementara pelaku besar menahan stok dan menjual ulang saat harga naik.

Fenomena penimbunan stok dan spekulasi harga membuat kondisi semakin buruk. Laporan Reuters (September 2025) menyatakan bahwa meskipun panen baik dan stok tinggi, harga beras tetap melonjak karena distribusi yang tidak lancar. Artinya, masalahnya bukan pada kekurangan beras, melainkan pada distribusi yang tidak efisien dan pengawasan yang lemah.

Kebijakan harga dan data antarlembaga sering kali tidak sejalan. Harga di tingkat petani sering lebih rendah dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP), sementara harga di pasar jauh melebihi HET. Ketidakcocokan data antara BPS, Bulog, dan Kementerian Pertanian membuat intervensi pemerintah, seperti operasi pasar atau kebijakan impor, sering kali terlambat.

Alih-alih memperbaiki sistem distribusi dan pengelolaan pangan, kebijakan pemerintah masih bersifat reaktif seperti operasi pasar, bantuan sosial, atau penyaluran cadangan beras pemerintah yang hanya menjadi solusi jangka pendek

Tingginya harga beras langsung memengaruhi kemampuan beli masyarakat dan kesejahteraan petani. Nilai Tukar Petani (NTP) Februari 2025 tercatat 123,45, menunjukkan bahwa kenaikan harga beras belum memberikan peningkatan berarti bagi kesejahteraan mereka.

Pemerintah perlu menyusun ulang ekosistem beras nasional secara total. Negara yang disebut agraris ini seharusnya tidak terus terperangkap dalam paradoks: panen berlimpah, tetapi dapur masyarakat tetap sulit. Kelebihan beras bukan hanya angka, melainkan ukuran sejauh mana sistem pangan kita berjalan adil.

Mahasiswa Universitas Airlangga

Email: Leonyecca26@gmail.com

Daftar Pustaka

Antara News. (2025, 15 Oktober). Indonesia Achieves Rice Self-Sufficiency with 5 Million Ton Surplus. antaranews.com

Badan Pusat Statistik. (2025). Luas Panen dan Produksi Padi Tahun 2024. bps.go.id

Badan Pusat Statistik. (2025). Produksi Padi Maret 2025 dan Proyeksi Panen Nasional. bps.go.id

Badan Pusat Statistik. (2025, 3 Maret). Nilai Tukar Petani (NTP) Februari 2025 Sebesar 123,45. bps.go.id

Bisnis.com. (2025, 22 Juli). BPS: Harga Beras Naik di 205 Daerah, Tertinggi Capai Rp54.772/kg. bisnis.com

DetikFinance. (2025, 12 Juni). Harga Beras Naik, Kini di Atas HET. detik.com

INDEF. (2025). Policy Brief: Stabilitas Harga Pangan Nasional di Tengah Surplus Produksi. Jakarta: Institute for Development of Economics and Finance.

Kementerian Pertanian RI. (2025). Outlook Komoditas Padi 2024–2025. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Pertanian.

Reuters. (2025, 23 September). High Rice Prices Jolt Indonesia Consumers Despite Good Crop, Hefty Stocks. reuters.com

Sekretariat Kabinet RI. (2025, 1 Mei). Indonesia’s Rice Stock Reaches 23-Year High. setkab.go.id

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image