Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Marcellino Janwarin

Kesepian di Tengah Keramaian Digital: Fenomena Digital Loneliness pada Generasi Z

Gaya Hidup | 2025-11-13 23:23:00
Fenomena Digital Loneliness

Di antara notifikasi yang terus muncul, pesan yang nggak sempat dibalas, dan story yang silih berganti tiap jam, banyak anak muda justru merasa sepi. Aneh ya, di era ketika kita bisa ngobrol sama siapa aja kapan aja, rasa kesepian malah makin sering muncul. Dunia terasa ramai, tapi hati justru hening.

Istilah digital loneliness lagi sering banget dibahas, terutama di kalangan generasi Z. Generasi yang tumbuh bareng internet dari kecil, yang sejak awal udah terbiasa ngobrol lewat layar. Tapi di balik kemudahan itu, ternyata banyak yang ngerasa hubungan sekarang makin dangkal. Semua orang kelihatan dekat, tapi sebenarnya jauh.

Media sosial sering bikin kita tampil “baik-baik aja.” Kayak kata sosiolog Erving Goffman, manusia tuh suka tampil di depan “panggung” sosial dengan versi terbaiknya. Nah, di era digital, panggung itu ya akun Instagram, Twitter, atau TikTok kita. Kita upload yang keren, yang bahagia, yang sukses, biar kelihatan oke. Tapi sisi capek, kesepian, dan bingungnya sering kita simpan sendiri.

Lama-lama hubungan yang tercipta jadi kayak hubungan permukaan. Banyak emoji tapi minim empati. Banyak followers tapi nggak banyak yang benar-benar kenal kita. Kadang kita juga terjebak di dunia yang dibentuk algoritma. Isinya cuma orang dan hal yang sepemikiran. Jadi makin lama, kita jarang nemuin percakapan yang jujur.

Generasi Z akhirnya hidup dalam dilema. Takut ketinggalan tapi juga capek terus online. Takut kehilangan koneksi tapi justru kehilangan makna dari koneksi itu sendiri. Malam hari waktu semua notifikasi berhenti, sering kali yang tersisa cuma rasa hampa dan pertanyaan kecil di kepala "Kenapa ya aku tetap merasa sendiri padahal selalu online?. "

Tapi nggak semuanya suram kok. Sekarang mulai banyak anak muda yang sadar dan mulai nyari ruang digital yang lebih tulus. Ada komunitas buat curhat, grup dukungan mental health, sampai gerakan digital detox biar bisa istirahat dari layar. Semua itu nunjukin satu hal: manusia tetap butuh hubungan yang nyata, yang hangat, yang nggak diukur dari jumlah like.
Akhirnya fenomena digital loneliness ini jadi pengingat sederhana bahwa koneksi nggak selalu berarti kedekatan. Kita bisa punya ribuan teman di dunia maya tapi tetap merasa sepi. Mungkin sekarang saatnya belajar hadir lagi di dunia nyata, dengerin orang beneran, dan ngobrol tanpa gangguan layar. Karena kadang hal paling manusiawi adalah benar-benar ada bukan cuma online.

Di antara notifikasi yang terus muncul, pesan yang nggak sempat dibalas, dan story yang silih berganti tiap jam, banyak anak muda justru merasa sepi. Aneh ya, di era ketika kita bisa ngobrol sama siapa aja kapan aja, rasa kesepian malah makin sering muncul. Dunia terasa ramai, tapi hati justru hening.

Media sosial sering bikin kita tampil “baik-baik aja.” Kayak kata sosiolog Erving Goffman, manusia tuh suka tampil di depan “panggung” sosial dengan versi terbaiknya. Nah, di era digital, panggung itu ya akun Instagram, Twitter, atau TikTok kita. Kita upload yang keren, yang bahagia, yang sukses, biar kelihatan oke. Tapi sisi capek, kesepian, dan bingungnya sering kita simpan sendiri.

Lama-lama hubungan yang tercipta jadi kayak hubungan permukaan. Banyak emoji tapi minim empati. Banyak followers tapi nggak banyak yang benar-benar kenal kita. Kadang kita juga terjebak di dunia yang dibentuk algoritma. Isinya cuma orang dan hal yang sepemikiran. Jadi makin lama, kita jarang nemuin percakapan yang jujur.

Generasi Z akhirnya hidup dalam dilema. Takut ketinggalan tapi juga capek terus online. Takut kehilangan koneksi tapi justru kehilangan makna dari koneksi itu sendiri. Malam hari waktu semua notifikasi berhenti, sering kali yang tersisa cuma rasa hampa dan pertanyaan kecil di kepala "kenapa ya aku tetap merasa sendiri padahal selalu online?. "

Istilah digital loneliness lagi sering banget dibahas, terutama di kalangan generasi Z. Generasi yang tumbuh bareng internet dari kecil, yang sejak awal udah terbiasa ngobrol lewat layar. Tapi di balik kemudahan itu, ternyata banyak yang ngerasa hubungan sekarang makin dangkal. Semua orang kelihatan dekat, tapi sebenarnya jauh.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image