Tantangan Mahasiswa Rantau: Menghadapi FOMO
Eduaksi | 2025-11-12 21:33:48
https://unsplash.com/s/photos/fomo" />
FOMO, singkatan dari Fear of Missing Out, adalah kegelisahan yang muncul ketika kita merasa orang lain sedang menikmati sesuatu yang kita lewatkan. Media sosial menjadi panggung utama ketakutan ini: beragam highlight, momen terbaik, serta tawa bersama teman, semuanya tersaji rapi dalam feed. Logikanya sederhana namun menipu. Kita melihat potongan-potongan cerita lalu menyimpulkan keseluruhan hidup seseorang. Inilah bentuk hasty generalization: mengambil kesimpulan besar dari serpihan kecil kehidupan.
Bagi mahasiswa yang sedang merantau demi pendidikan, layar ponsel bukan hanya jendela dunia, tapi juga pengingat nyata akan jarak. Saat teman-teman reuni, keluarga berkumpul, atau aktivitas kampung halaman muncul di linimasa, rasa “terluar” itu bukan sekadar soal acara yang terlewat. Ada kehilangan yang lebih dalam: absennya pelukan keluarga, obrolan receh di meja makan, dan hangatnya suasana rumah yang tak tergantikan emoji. Tidak banyak yang tahu, anak rantau kadang merasakan kekosongan yang berlipat ganda.
FOMO sebagai Pemacu, Bukan Penghambat
Menariknya, untuk anak rantau, FOMO kadang berubah menjadi pemantik semangat. Rasa cemas tertinggal memang menimbulkan kegelisahan, tetapi juga memotivasi untuk keluar dari zona nyaman. Keinginan “ikut terlibat” jadi alasan mencari teman baru, aktif di organisasi kampus, atau mencoba hal-hal baru demi menaklukkan rasa asing. FOMO bertransformasi dari kecemasan menjadi energi penyesuaian—membangun jaringan, menerima perbedaan, dan memperluas wawasan.
Dorongan ini membuat banyak anak rantau menemukan keberanian yang dulu tidak pernah terbayang. Mereka belajar mengisi ruang sepi dengan aktivitas baru, dan menjadikan rasa takut ketinggalan sebagai alasan untuk tumbuh, bukan mundur..
Jebakan Pikiran yang Sering Terjadi
- False comparison: Membandingkan fragmen terbaik orang lain dengan hari biasa kita.
- Hasty generalization: Melihat beberapa postingan lalu menyimpulkan “semua orang lebih bahagia”.
- Appeal to emotion: Bertindak demi menghindari rasa malu atau penolakan, bukan berdasarkan kebutuhan.
Dengan berpikir kritis, kita bisa membongkar jebakan ini. Pertanyaan sederhana bisa jadi senjata: Apakah kesimpulan ini didukung bukti cukup? Atau hanya asumsi yang dipicu emosi sesaat?
FOMO: Menggerogoti Kesehatan Mental
FOMO tidak berhenti di rasa cemas sesaat. Jika dibiarkan, ia bisa menggerogoti kesehatan mental. Studi dari University of Essex (2019) menemukan bahwa mahasiswa yang sering mengalami FOMO lebih rentan mengalami stres, kecemasan, dan menurunnya motivasi belajar. American Psychological Association (2021) juga mencatat bahwa paparan media sosial yang intens dapat memperbesar rasa ketidakpuasan hidup, terutama pada anak muda. Bagi anak rantau, beban itu terasa dobel: adaptasi, finansial, akademik, plus rasa terasing.
Cara Praktis Mengubah FOMO jadi Bahan Belajar
Kalau tujuanmu menulis untuk tugas mata kuliah Logika dan Pemikiran Kritis, bagian solusi harus konkret, bukan sekadar klise. Berikut langkah praktis yang bisa dicoba:
1. Tunda scroll, tanya dulu: Saat muncul perasaan “kenapa aku nggak diajak”, berhenti. Tuliskan tiga fakta objektif: siapa yang posting, kapan, dan konteksnya.
2. Challenge 7 hari JOMO: Coba satu minggu kurangi waktu scrolling, ganti dengan satu hobi: masak, menulis, jalan pagi. Catat perubahan mood.
3. Bangun “keluarga kecil”: Masuk organisasi kampus atau komunitas hobi. Teman baru tak menggantikan keluarga, tapi memberi ruang berbagi.
4. Anggaran sosial: Tetapkan batas pengeluaran bulanan untuk hangout—lebih realistis dan mencegah pengeluaran impulsif karena takut dicap “ketinggalan”.
5. Latih dialog batin kritis: Saat timbul pikiran negatif, bertanyalah: “Apa bukti yang mendukung? Adakah penjelasan alternatif?”
Tantangan dan Peluang di Era Digital
Di tengah banjir unggahan dan notifikasi, algoritma media sosial memperbesar rasa “outsider.” Namun di balik itulah peluang membangun jejaring yang sebelumnya tidak pernah terbayang. Anak rantau belajar memilah mana highlights yang cukup dinikmati sekilas, dan mana peluang yang layak dikejar.
Dengan mengikuti kegiatan kampus, diskusi daring, atau mengenal budaya lokal, FOMO bisa dikelola menjadi pengalaman bertumbuh. Jika dibiarkan, rasa frustrasi bisa datang kapan saja. Namun dengan strategi yang tepat dengan memilih lingkungan yang suportif dan aktif. Anak rantau justru bisa menjadi semakin tangguh.
Jadi, lain kali saat story teman muncul, kamu boleh saja merasa sedih. Tapi jangan berhenti di situ, tanyakan pada diri: apakah ini bukti utuh? Atau hanya potongan yang mengundang asumsi? Dari situ, kamu bisa memilih: ikut panik, atau gunakan momen itu untuk merawat diri, membangun komunitas baru, dan belajar jadi versi yang lebih dewasa. Mungkin, lain kali saat melihat story teman di media sosial, kita bisa tersenyum dan berkata pada diri sendiri: “Aku memang tidak ada di sana, tapi di sinilah aku belajar menjadi versi terbaik dari diriku.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
