Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kaysha Rattulinge

Gajah Pertama dan Kesenjangan yang Tak Terlihat

Eduaksi | 2025-11-12 14:17:59
Oleh: Kaysha Rattulinge

“Kakak, gajahnya gede banget ya! Aku baru lihat yang asli!” seru seorang anak TK berusia lima tahun di depan kandang gajah Kebun Binatang Surabaya. Ia melompat kegirangan, matanya berbinar. Namun kalimat berikutnya membuat dada sesak: “Ini hari paling seru dalam hidupku, Kak.”

Di balik tawa riang itu, tersimpan kenyataan yang tak terlihat: di Indonesia 2025, melihat gajah bisa menjadi kemewahan. Pengalaman mendampingi 30 anak TK dari keluarga prasejahtera dalam kegiatan sosial bulan September lalu membuat saya sadar bahwa bagi sebagian besar dari mereka, kunjungan ke kebun binatang bukanlah hal biasa—melainkan mimpi yang jarang terwujud.

Dalam diskusi pendidikan, perhatian kita sering terpusat pada hal-hal formal: kurikulum, nilai ujian, dan bangunan sekolah. Padahal, pembelajaran sejati bagi anak usia dini justru terjadi di luar ruang kelas—di kebun binatang, museum, dan taman yang menumbuhkan rasa ingin tahu. Melihat gajah di buku memang menambah pengetahuan, tetapi melihat gajah yang bergerak, bersuara, dan memercikkan air adalah pengalaman belajar yang membekas seumur hidup.

Sayangnya, bagi jutaan anak Indonesia, pengalaman seperti itu masih terlalu mahal. Data BPS 2024 mencatat lebih dari 26 juta anak hidup dalam kemiskinan. Tiket masuk Rp15.000 dan ongkos transportasi Rp50.000 bisa berarti dua hari makan untuk satu keluarga. Maka, “belajar sambil bermain” menjadi kemewahan, bukan hak.

Para relawan berusaha menutup celah itu. Mereka mengajak anak-anak kurang mampu menikmati ruang belajar alternatif. Namun di balik ketulusan mereka, ada pertanyaan besar yang patut direnungkan: mengapa kebahagiaan sederhana ini masih bergantung pada kerja sukarela, bukan pada kebijakan publik yang berkeadilan?

Negara lain menunjukkan bahwa akses belajar bisa merata. Museum nasional di Inggris gratis untuk umum; di Jerman, kebun binatang memberi potongan bagi keluarga berpenghasilan rendah; di Singapura, sekolah mendapat subsidi transportasi untuk kunjungan edukatif. Sementara di Indonesia, akses ke aset publik masih ditentukan oleh isi dompet.

Sudah saatnya pemerintah melihat pendidikan informal sebagai bagian dari hak anak, bukan sekadar hiburan. Kuota kunjungan gratis bagi keluarga prasejahtera, subsidi transportasi bagi sekolah, dan kemitraan dengan organisasi sosial harus menjadi kebijakan, bukan belas kasih.

Kebahagiaan seorang anak yang baru pertama kali melihat gajah seharusnya bukan peristiwa langka. Itu seharusnya menjadi pengalaman setiap anak Indonesia. Karena keadilan sosial sejati tak hanya soal siapa yang bisa bersekolah, tetapi juga siapa yang berkesempatan belajar tentang dunia—tanpa harus membeli tiket untuk bahagia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image