Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fairuz Sandriana Ramadhani

Politik di Ujung Jempol: Ketika Aktivisme Beralih ke Layar Smartphone

Politik | 2025-11-12 06:58:20

Mengikuti perubahan zaman yang mulai beralih ke dunia digital, banyak aktivitas mulai tergantikan menjadi dapat dilakukan secara tidak langsung. Salah satunya melihat kecenderungan generasi muda untuk memilih lebih aktif bersuara di media sosial daripada menyuarakannya secara langsung pada forum musyawarah. Sebuah ketikan terkadang lebih keras suaranya dibandingkan suara perwakilan itu sendiri. Seolah menunjukkan simbol baru dalam partisipasi politik. Perlahan pun semakin jelas kita sadari bahwa semakin ramai bicara politik di dunia maya, semakin sepi ruang politik di dunia nyata.

Bukan tanpa alasan, berdasarkan survei Katadata Insight Center (2024) media berita online (80.4%) adalah sumber utama anak muda mengakses informasi politik. Banyak dari mereka merasa politik terlalu kotor, terlalu jauh, atau tidak memberi ruang bagi suara muda. Akibatnya, partisipasi seperti ikut pemilu, bergabung dalam organisasi partai, atau menghadiri diskusi kebijakan publik tidak lagi menarik. Sebaliknya, media sosial menjadi arena baru untuk berpendapat dan menyalurkan emosi politik.

Namun di satu sisi perubahan seperti ini tidak dapat dihindari oleh generasi yang tumbuh bersama teknologi. Sering diakui bahwa generasi muda dinilai lebih mahir memanfaatkan ruang digital. Istilah hashtag, story, thread lebih akrab bagi mereka dibanding dengan struktur organisasi politik. Bersuara melalui ruang digital dianggapnya lebih cepat menyalurkan ekspresi dan terasa lebih jujur dibanding melalui prosedur yang dianggap tidak “bebas”. Namun, partisipasi seperti ini sering kali berhenti di layar dan tidak berlanjut menjadi gerakan nyata yang bisa mendorong perubahan kebijakan.

Saya sendiri pernah mengalami dilema itu. Saat isu sosial ramai diperbincangkan di media, saya ikut menyuarakan pendapat lewat komentar dan unggahan. Rasanya seperti berbuat sesuatu untuk kebaikan. Tapi setelah tren itu mereda, saya menyadari tidak ada yang benar-benar berubah. Isu hanya jadi bahan perdebatan sesaat, lalu tenggelam oleh topik baru. Dari situ saya belajar bahwa politik tidak cukup hanya dibicarakan, tapi perlu dihidupkan melalui tindakan.

Ada beberapa alasan mengapa banyak anak muda menjauh dari politik formal. Pertama, rasa tidak percaya terhadap elite politik yang sering dianggap hanya mementingkan kepentingan pribadi. Kedua, minimnya pendidikan politik yang relevan, sehingga politik terlihat rumit dan tidak menyentuh kehidupan sehari-hari. Ketiga, budaya digital yang serba instan membuat diskusi mendalam digantikan dengan komentar singkat dan penuh emosi. Dalam suasana seperti ini, politik berubah menjadi hiburan, bukan lagi ruang berpikir kritis.

Namun, bukan berarti generasi muda apolitis. Justru sebaliknya, mereka peduli, hanya saja memilih jalur yang berbeda. Politik bagi anak muda kini bisa hadir dalam bentuk kampanye lingkungan, gerakan donasi, proyek sosial, atau konten edukatif di media digital. Bentuknya tidak selalu berbentuk rapat atau spanduk, tapi bisa berupa thread yang menjelaskan isu HAM atau video pendek yang mengkritisi kebijakan publik. Ini menandakan bahwa politik sedang bertransformasi, bukan menghilang.

Yang menjadi tantangan sekarang adalah bagaimana menjembatani antara politik digital dan politik nyata. Aktivisme di media sosial bisa menjadi pintu awal, tapi tetap perlu diteruskan dengan aksi konkret yakni berupa ikut berdiskusi, mendukung gerakan sosial, atau sekadar hadir dalam ruang musyawarah di lingkungan sekitar. Politik akan kehilangan maknanya jika hanya berhenti sebagai trend online. Perubahan sejati membutuhkan langkah kecil di dunia nyata.

Pada akhirnya, politik bukan hanya milik mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Politik adalah tentang keberanian ikut menentukan arah masa depan. Anak muda punya energi, ide, dan kepekaan yang dibutuhkan untuk membangun bangsa ini. Jika generasi muda berhenti peduli, maka masa depan akan ditentukan oleh mereka yang tak lagi muda dan mungkin tak lagi peka.

Jadi, sebelum jempol kita sibuk mengetik pendapat tentang politik di layar ponsel, mungkin sudah saatnya kita bertanya: sejauh mana suara itu benar-benar mengubah sesuatu? Karena politik tidak berhenti di postingan, tetapi dimulai dari kesadaran untuk bergerak.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image