Redenominasi Rupiah: Efisiensi Ekonomi atau Hanya Ilusi Kebijakan?
Politik | 2025-11-11 23:00:04Wacana redenominasi rupiah kembali dibicarakan, memunculkan perdebatan antara mereka yang optimis dan mereka yang masih ragu. Pemerintah menyebut langkah ini sebagai bagian dari modernisasi sistem keuangan. Angka jadi lebih sederhana, transaksi lebih praktis, dan rupiah tampil lebih “rapi” di mata dunia. Namun, kenangan tentang sanering pada pemotongan nilai uang di masa lalu masih membayangi persepsi publik. Dan sekarang bayangan kebijakan pemotongan nilai uang masih melekat dalam persepsi publik.
Secara konsep, redenominasi tidak mengurangi daya beli. Sepuluh ribu rupiah yang ditulis sebagai “Rp10” tetap bernilai sama. Persoalannya bukan di angka, melainkan di rasa percaya. Efisiensi ekonomi tidak otomatis lahir dari penghapusan nol, tetapi dari kondisi makro yang stabil, komunikasi kebijakan yang jelas, dan keyakinan publik bahwa uang mereka aman. Tanpa itu, redenominasi bisa terlihat seperti ilusi kebijakan indah di permukaan, kosong di dalam.
Politik ekonomi selalu berhubungan dengan psikologi rakyat. Orang tidak membaca laporan Bank Indonesia setiap hari, tetapi mereka merasakan harga beras, ongkos transportasi, dan cicilan rumah. Jika kebijakan redenominasi tidak dibarengi dengan jaminan stabilitas harga dan keterbukaan informasi, yang muncul bukan rasa lega, melainkan keresahan.
Di sisi lain, redenominasi tidak hanya berdampak pada ekonomi dan psikologi publik, tetapi juga pada dunia teknologi informasi. Sistem keuangan digital, aplikasi perbankan, hingga platform e-commerce selama ini harus menampilkan nominal rupiah dengan digit yang panjang. Hal ini sering menimbulkan kerumitan dalam tampilan antarmuka, pengolahan data, maupun integrasi sistem lintas negara. Dengan redenominasi, angka rupiah menjadi lebih ringkas dan mudah diproses. Misalnya, transaksi yang sebelumnya ditulis Rp1.000.000 akan cukup ditampilkan sebagai Rp1.000. Dengan demikian, redenominasi juga bisa dibaca sebagai upaya menyesuaikan rupiah dengan tuntutan era digital. Namun, teknologi saja tidak cukup tanpa kepercayaan politik.
Tantangan terbesar pemerintah ada pada membangun narasi yang jujur dan meyakinkan. Redenominasi harus dipahami sebagai bagian dari reformasi ekonomi yang lebih luas, bukan sekadar proyek simbolik. Tanpa fondasi kepercayaan, nol yang dihapus bisa menambah beban pikiran, bukan mengurangi kerumitan.
Pada akhirnya, redenominasi rupiah adalah ujian kepercayaan politik. Apakah negara mampu meyakinkan rakyat bahwa ini bukan sekadar permainan angka, melainkan langkah nyata menuju efisiensi? Atau justru akan dikenang sebagai kebijakan yang tampak gagah di atas kertas, tetapi rapuh di lapangan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
