Air Mata dan Endorse Baru: Mengapa Cancel Culture Indonesia Hanya Berfungsi Sebagai Jeda Promosi
Gaya Hidup | 2025-11-11 19:25:01Dalam peristiwa yang paling sering ditemui di sosial media adalah Cancel Culture, terjadi cancel culture atau budaya pembatalan terjadi pada tokoh publik di sosial media. Hal ini terjadi karena tokoh publik tersebut melakukan kesalah atau skandal yang membuat ketidaknyamanan oleh masyarakat media sosial yang disebut netizen. Pembatalan budaya ini dilakukan sebagai bentuk sanksi sosial dan penyesalan atas kesalahan yang dibuat oleh tokoh publik. Tetapi hal yang sering terjadi malah menjadi rasa kasihan terhadap tokoh publik yang menerapkan penyesalan di depan kamera, yang akan diikuti dengan kembalinya popularitas tokoh publik melalui kontrak endorsement yang baru (Prasetyo, A. T. dkk, 2025).
Maka dari itu, cancel culture atau budaya pembatalan menjadi tempat promosi yang strategis bagi tokoh publik untuk jeda atau cuit menerima kerjasama dari brand maupun endorsement. Sulit menjadikan sanksi sosial cancel culture atau pembatalan budaya sebagai hukuman yang permanen karena berbagai alasan dan unsur, diantaranya keterlibatan emosional publik yang mudah lupa.
Reduksi Aktivisme Menjadi 'Sirkus Penyesalan'
Cancel culture atau budaya pembatalan sesuatu keinginan publik untuk memberikan keadilan dan sanksi sosial kepada pelaku skandal karena lembaga formal tidak mampu menangani beberapa kasus skandal para tokoh publik. Tokoh publik yang melakukan skandal akan muncul dan membuat narasi bahwa dirinya tertekan serta meminta maaf di sosial media secara mendalam dan tulus untuk memancing opini publik. Paling ironis nya air mata digunakan tokoh publik sebagai bentuk penampilan supaya makin banyak publik yang merasa iba terhadap dirinya.
Tujuan dari adanya budaya pembatalan atau cancel culture adalah untuk menghentikan rasisme, seksisme, atau kekerasan hal - hal ini mungkin tidak selalu terjadi di sosial media. Ekspresi penyesalan yang dilakukan tokoh publik sangat dramatis ini membuat netizen menjadi lebih cepat, meninggalkan rasa “puas” melihat sosok “menderita” dan “bertobat”. Sehingga, pelaku skandal yang memiliki keinginan untuk mendapatkan sanksi permanen berkurang dapat terjadi dan rekonsiliasi lebih baik daripada hukuman abadi (Tristam Pascal Moeliono, 2025).
Kapitalisme Engagement: Kontroversi Adalah Keuntungan
Engagement adalah uang yang paling berharga bagi tokoh publik di era ekonomi saat ini sehingga menimbulkan beberapa dampak negatif. Selain tokoh publik, orang awam yang menggunakan sosial media bergabung dalam kontroversi menarik untuk berpartisipasi, meningkatkan "traffic and reach" akun publik secara eksponensial. Algoritma ini dihidupkan lebih meledak dengan gerakan pembatalan budaya atau cancel culture. Dengan boikot dan kecaman massal, hal tersebut menjadi lebih populer dalam hitungan algoritma, menjadi objek "panas" yang selalu dipromosikan oleh pendukung dan pengecam.
Pelaku skandal yang sebelumnya menerima pembatalan budaya atau culture cancel sekarang memiliki audiens yang lebih besar dan terbukti memiliki potensi untuk menghasilkan trafik. Oleh karena itu, menandatangani kontrak endorsement baru atau bekerjasama dengan brand setelah skandal menjadi keputusan bisnis yang logis berdasarkan data interaksi yang dioptimalkan oleh fenomena ini. Budaya pembatalan atau cancel culture menjadi bahan rebranding besar tokoh publik yang meningkatkan visibilitas tanpa mengeluarkan biaya yang mahal untuk promosi.
Memori Digital yang Mudah Tergantikan
Dengan banjir informasi yang tersebar luas setiap hari, masalah besar yang berkaitan dengan moralitas dan etika akan terlupakan dalam waktu singkat dan digantikan oleh sensasi baru. Pelaku skandal yang di cancel hanya perlu "tiarap" untuk waktu yang singkat, perhatian publik di Indonesia sangat singkat. Metode budaya pembatalan atau cancel culture di Indonesia masih terbatas pada petisi dan belum mencapai efek jera yang permanen bagi tokoh publik yang melakukan skandal. Beberapa tokoh publik yang tidak bertanggung jawab lebih banyak memanfaatkan atau sengaja membuat skandal untuk mengunggah komentar negatif dan mendapatkan trafik perhatian netizen yang lebih banyak lagi (Wibowo, A., Santoso, J. T., & Wibowo, M. C. 2023).
Banyaknya budaya, trend dan tokoh publik yang baru sering bermunculan di sosial media maka budaya pembatalan atau cancel culture menjadi kehilangan nilai moral dan tujuannya. Hal ini menyebabkan cancel culture menjadi bagian dari perputaran ekonomi digital, gerakan boikot yang dilakukan netizen tidak menjadi ganjaran bagi tokoh publik yang melakukan skandal. Gerakan boikot harus struktural dan terencana agar dapat menghambat sumber penghasilan tokoh publik tersebut dan menjadi sanksi sosial yang menghasilkan perubahan lebih baik.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
