Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Moh Thoriq Badrul Huda

Di Balik Satu Klik: Hoaks yang Masih Mudah Menyebar di Era Digital

Teknologi | 2025-11-11 12:40:32

Di zaman serba digital, informasi mengalir begitu cepat. Satu pesan yang dibagikan di media sosial bisa menyebar ke ribuan orang hanya dalam hitungan detik. Hal ini menunjukkan betapa mudahnya masyarakat memperoleh dan menyebarkan berita. Namun, dibalik kemudahan itu, muncul satu persoalan serius yang belum juga selesai, yaitu penyebaran berita hoaks.

Berita hoaks merupakan informasi palsu atau menyesatkan yang dibuat seolah-olah benar. Tujuannya bisa bermacam-macam, mulai dari mempengaruhi opini publik, menimbulkan kepanikan, hingga sekadar mencari perhatian. Hoaks sering kali dikemas dengan cara yang menarik dan meyakinkan agar tampak seperti berita sungguhan.

Menurut data Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi), sepanjang tahun 2024 ditemukan sebanyak 1.923 konten hoaks di Indonesia. Jenis hoaks terbanyak adalah penipuan dengan 890 konten, disusul politik sebanyak 237, pemerintahan 214, kesehatan 163, dan bencana 145. Angka tersebut memperlihatkan bahwa meskipun teknologi semakin maju, masyarakat masih mudah terpengaruh oleh informasi yang belum tentu benar.

Mengapa masyarakat tetap menyebarkan berita hoaks meskipun sudah tahu bahwa hal itu salah?
Pertama, emosi sering kali mengalahkan logika. Banyak orang langsung membagikan berita yang memicu rasa marah, takut, atau iba tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Penelitian dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menunjukkan bahwa berita palsu menyebar enam kali lebih cepat daripada berita yang benar karena isinya lebih sensasional dan menggugah emosi.

Kedua, keinginan untuk diakui dan merasa berperan juga berpengaruh. Sebagian orang ingin terlihat paling tahu atau merasa sedang membantu orang lain dengan membagikan informasi, padahal belum tentu benar. Ada pula yang menyebarkan hoaks karena isi berita tersebut sesuai dengan pandangan pribadi mereka.

Ketiga, rendahnya literasi digital menjadi faktor utama. Masih banyak masyarakat yang belum terbiasa memeriksa keaslian tautan, sumber, atau tanggal berita sebelum membagikannya. Apalagi, penyebaran di aplikasi seperti WhatsApp dan Telegram sulit dikendalikan karena bersifat pribadi dan tertutup.

Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan menegur atau menyalahkan masyarakat. Diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak untuk menumbuhkan kesadaran berpikir kritis. Pendidikan literasi digital perlu diperkuat agar masyarakat terbiasa memilah dan memverifikasi informasi. Platform media sosial juga harus lebih aktif mendeteksi serta menindak akun penyebar hoaks. Pemerintah dan media resmi wajib menyediakan informasi yang cepat, akurat, dan mudah diakses agar tidak memberi ruang bagi berita palsu.

Selain itu, setiap individu perlu memiliki tanggung jawab moral dalam menggunakan media digital. Sebelum membagikan sesuatu, sebaiknya berhenti sejenak dan bertanya: apakah informasi ini benar, dan apakah bermanfaat jika disebarkan? Langkah sederhana ini bisa menjadi benteng pertama untuk melawan hoaks.

Pada akhirnya, di tengah derasnya arus informasi, setiap jari memiliki tanggung jawab besar. Satu klik bisa membawa kebenaran, tetapi juga dapat memperluas kebohongan. Sebelum menekan tombol “bagikan,” pastikan yang kita sebarkan adalah kebenaran, bukan kebohongan yang menyesatkan banyak orang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image