Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Ihsan Tahir

Membaca Indonesia Kita: Nasionalisme Topeng dan Janji Keadilan yang Tertunda

Kolom | 2025-11-11 12:26:02
Dokumentasi Pribadi Muhammad Ihsan Tahir.

INDONESIA adalah satu bangsa di mana ratap tangis satu golongan menjadi tertawaan golongan lain; di mana orang-orang yang dianggap pahlawan oleh satu golongan dianggap pengkhianat oleh golongan lain; di mana kekejaman terhadap satu golongan dianggap keadilan oleh golongan lain; di mana ‘solidaritas nasional’ hanya ada dibibir dan di poster-poster saja. Nyatalah di alam kenyataan kesadaran kebangsaan Indonesia yang sesungguhnya tidak ada, dan yang disebut “nasionalisme Indonesia” itu hanya suatu nasionalisme suatu golongan terbesar yang mempertopengkan nama “nasionalisme Indonesia” untuk membenarkan dan mengesahkan kekuasaannya.(Demokrasi Untuk Indonesia, Hasan Muhammad Tiro, Teplok Press, 1999)

Risalah ini ditulis oleh Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro atau lebih populer Hasan Tiro yang terbit pertama kali pada tahun 1958. Risalah yang diberi judul ‘Demokrasi Untuk Indonesia’ ini dibuka dengan memaparkan persoalan yang sedang di hadapi oleh Indonesia pada saat itu, mulai munculnya banyak pemberontakan di beberapa daerah oleh kelompok-kelompok masyarakat yang merasa tidak puas dengan pemerintahan pusat di Jakarta, seperti pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) pada November 1950, DI/TII Kartosoewiryo di Jawa Barat, DI/TII Daud Bereuh di Aceh pada 1949-1962, dan Kahar Muzakkar di Sulawesi serta PRRI-Permesta di Sumatera dan Sulawesi.

Rangkaian peristiwa yang terjadi di masa pemerintahan Soekarno itu meskipun berhasil ditumpas tapi begitu banyak menyisakan luka yang cukup mendalam terhadap bangsa yang baru terbebas dari penjajahan. Lantas, bagaimana dengan hari ini?

Setelah 80 tahun merdeka, sejauh mana Indonesia melangkah, sebuah bangsa yang menjunjung tinggi keadaban dan kemanusiaan dalam prinsip bernegara. Bangsa ini tentu sudah sangat sering diuji dengan konflik-konflik yang mengorbankan puluhan bahkan ratusan juta jiwa anak bangsanya.

Sejauh mana kita akan terus berputar-putar di permasalahan yang sama, bangsa yang telah terbebas dari penjajahan kolonialisme selama puluhan tahun, malah kembali terjebak dalam masalah yang sama. Merebaknya rasisme, konflik karena perbedaan Agama dan keyakinan, tumbuh suburnya ormas-ormas radikal yang tak segan-segan menggunakan cara-cara kekerasan dan premanisme.

Belum lagi oknum-oknum aparat negara yang selalu bersikap represif ketika membubarkan aksi demonstran, peristiwa-peristiwa ini terus saja terjadi, dan sikap pasif pemerintah menambah terpecahnya konfilk bangsa ini.

Mari kita mulai Membaca Indonesia Kita, yang penulis maksud “Membaca” disini, melihat kembali peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang terjadi dan mengapa selalu saja terulang.

Membaca Indonesia Kita berarti menolak melihat sejarah dan realitas sosial hanya melalui lensa narasi tunggal yang didiktekan dari pusat kekuasaan. Ini adalah sebuah upaya reflektif untuk menemukan kembali pecahan-pecahan kebenaran yang berserakan, khususnya yang tersembunyi di balik tangisan mereka yang terpinggirkan, yang oleh Hasan Tiro disebut sebagai mereka yang ratap tangisnya menjadi tertawaan golongan lain. Kutipan tajam Tiro pada tahun 1958, yang menuding nasionalisme Indonesia sebagai topeng bagi kekuasaan golongan terbesar, terasa begitu relevan hingga kini, hanya saja pelakunya telah berganti pakaian dan retorika.

Kita hidup dalam ilusi kesatuan. Di permukaan, slogan persatuan terpampang di mana-mana, namun di bawahnya, jurang pemisah identitas kian melebar. Nasionalisme yang seharusnya menjadi payung bagi semua keragaman, justru seringkali dipersempit maknanya menjadi penyeragaman. Ini terlihat nyata ketika politik identitas menjadi senjata yang ampuh untuk memecah belah. Perbedaan suku, ras, atau agama yang seharusnya menjadi kekayaan, secara sistematis diolah menjadi sumber konflik, menjadikannya garis demarkasi antara 'kita' yang sah dan 'mereka' yang harus dieliminasi, baik secara fisik maupun sosial. Solidaritas nasional pun terasa hanya menjadi dekorasi, seringkali hanya muncul ketika ada ancaman dari luar, tetapi lenyap seketika saat berhadapan dengan ketidakadilan yang lahir dari rahim bangsa sendiri.

Siklus pengulangan konflik ini, dari era pemberontakan daerah hingga hari ini, tidak lepas dari satu akar masalah: impunitas dan kegagalan rekonsiliasi. Luka batin akibat penumpasan gerakan separatis di era Soekarno, tragedi kemanusiaan 1965/66 yang menjadi fondasi Orde Baru, hingga konflik sistematis di Aceh, Papua, dan Timor-Timor (Sekarang Timor-Leste), tidak pernah disembuhkan tuntas melalui proses keadilan yang jujur dan menyeluruh. Ketika trauma sejarah tidak diakui dan dipertanggungjawabkan, ia tidak hilang, ia hanya bermigrasi ke generasi berikutnya dalam bentuk kecurigaan, dendam tersembunyi, dan yang lebih berbahaya, sebagai pembenaran atas kekerasan di masa depan. Budaya represif aparat negara yang terus berulang saat membubarkan demonstrasi atau menangani konflik adalah manifestasi langsung dari warisan impunitas ini. Negara seolah mengirim pesan bawah sadar bahwa kekerasan adalah cara yang sah untuk mempertahankan ketertiban, selama itu dilakukan atas nama kekuasaan.

Manifestasi kontemporer dari keretakan bangsa ini sungguh memilukan. Peristiwa rasisme terhadap saudara-saudara kita di Papua, misalnya, bukan sekadar insiden sesaat, melainkan puncak gunung es dari diskriminasi struktural dan ketidakadilan pembangunan yang telah berlangsung puluhan tahun. Demikian pula, konflik berbasis agama dan keyakinan seperti penolakan pembangunan tempat ibadah atau persekusi terhadap kelompok minoritas menunjukkan kegagalan kita dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara substantif. Kehadiran dan suburnya ormas-ormas radikal yang beroperasi dengan cara-cara premanisme merupakan indikasi jelas bahwa negara seringkali lalai atau bahkan memilih bersikap pasif, membiarkan kelompok-kelompok ini mengambil peran sebagai penegak moral atau tatanan sosial yang mereka definisikan sendiri. Sikap pasif pemerintah ini bukan netralitas melainkan itu adalah pilihan politik yang secara implisit melegitimasi kekerasan dan perpecahan.

Untuk benar-benar Membaca Indonesia Kita, kita harus melakukan lebih dari sekadar mengidentifikasi masalah, kita harus berani menatap cermin. Membaca Indonesia berarti membaca wajah-wajah korban, mendengarkan narasi dari pinggiran, dan menggali kembali sejarah yang disensor atau diputarbalikkan. Ini menuntut keberanian moral untuk mengakui bahwa cita-cita "keadaban dan kemanusiaan" yang kita junjung tinggi dalam prinsip bernegara seringkali hanya berhenti di tataran tekstual, gagal diterjemahkan ke dalam kebijakan yang adil dan praktik sosial yang egaliter.

Kita harus bergerak melampaui nasionalisme topeng yang dikritik Tiro, menuju kesadaran kebangsaan yang sejati. Kesadaran kebangsaan yang sejati tidak memerlukan keseragaman dalam identitas, melainkan penerimaan utuh terhadap perbedaan dan komitmen bersama untuk berbagi penderitaan, solidaritas dalam luka.

Membaca Indonesia Kita adalah sebuah seruan untuk tindakan sipil, sebuah desakan agar masyarakat dan intelektual tidak pernah lelah mempertanyakan kekuasaan dan menuntut pertanggungjawaban atas setiap pelanggaran kemanusiaan. Siklus konflik tidak akan berakhir hanya dengan penumpasan atau larangan, ia hanya akan berakhir ketika kita sebagai sebuah bangsa memutuskan untuk melakukan reformasi institusional yang mendalam mereformasi aparat negara agar menjadi pelayan dan pengayom dalam setiap tindakan, bukan penguasa, mereformasi sistem pendidikan agar menanamkan empati, bukan dogma, dan mereformasi sistem hukum agar menjamin keadilan restoratif, bukan sekadar hukuman.

Hanya dengan keberanian untuk membaca dan memahami luka kolektif kita, barulah kita dapat membangun kembali pondasi kebangsaan yang rapuh ini. Indonesia harus menjadi tempat di mana ratap tangis satu golongan tidak lagi menjadi tertawaan golongan lain, melainkan menjadi pemicu empati yang menggerakkan seluruh bangsa menuju rekonsiliasi dan keadilan yang sejati. Barulah saat itu, kita dapat mengklaim telah melampaui kritik pedas Hasan Tiro dari enam dekade lalu. Indonesia harus melangkah maju, keluar dari lingkaran setan impunitas dan perpecahan, menuju keadaban yang dicita-citakan.

Tabik.

Referensi

- Muhammad Tiro, Hasan, Demokrasi Untuk Indonesia, (Jakarta, Teplok Press, 1999)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image