Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Putri Melinda Nuraini

Budaya Lokal di Persimpangan Zaman: Antara Eksistensi dan Algoritma

Humaniora | 2025-11-11 07:59:55
Oleh Putri Melinda Nuraini, Prodi S1 Keperawatan, Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga

Abstrak

Budaya lokal kini tidak hanya bersaing di ruang nyata, tetapi juga di ruang digital yang dikuasai algoritma. Di tengah derasnya arus globalisasi dan tren media sosial, budaya lokal Indonesia menghadapi ujian identitas. Generasi muda lebih akrab dengan budaya Korea atau Barat dibanding bahasa daerahnya sendiri.

Pendahuluan: Saat Tari Tradisional Bertarung dengan TikTok

Di banyak daerah, suara gamelan mulai kalah nyaring dibanding suara notifikasi TikTok. Generasi muda lebih mudah meniru dance challenge dibanding mempelajari gerak tari daerahnya sendiri. Fenomena ini menjadi cermin nyata bahwa budaya lokal sedang berjuang mempertahankan eksistensinya di tengah arus globalisasi digital.

Namun, krisis ini bukan hanya tentang tarian atau pakaian adat yang mulai dilupakan, melainkan tentang identitas bangsa. Budaya lokal adalah akar yang menumbuhkan karakter nasional, dan ketika akar itu mulai lapuk, masa depan kebudayaan bangsa pun ikut goyah.

Ironisnya, di sisi lain, budaya lokal juga mulai mendapat “panggung baru” melalui media sosial. Banyak konten kreator muda yang kini justru memperkenalkan budaya daerahnya dengan cara kreatif dan modern. Artinya, budaya lokal masih punya peluang besar asalkan tahu cara berbicara dalam bahasa zaman ini: bahasa digital.

Budaya Lokal dalam Cengkeraman Globalisasi

Globalisasi adalah pedang bermata dua. Di satu sisi membuka wawasan, di sisi lain mengikis batas budaya. Generasi muda Indonesia kini tumbuh dalam arus global yang serba cepat: K-pop, Netflix, hingga mode fesyen Barat menjadi bagian dari keseharian.

Dampaknya, budaya lokal kerap dianggap kuno, tidak relevan, atau sekadar pelengkap upacara. Bahasa daerah pun perlahan pudar bahkan di beberapa wilayah, penuturnya berkurang drastis setiap tahun. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat lebih dari 11 bahasa daerah di Indonesia telah punah, dan ratusan lainnya terancam menyusul. Ini bukan sekadar kehilangan kosakata, tapi hilangnya cara pandang lokal terhadap dunia.

Algoritma dan Krisis Identitas Budaya

Zaman dulu, budaya disebarkan lewat mulut ke mulut. Kini, budaya disebarkan lewat algoritma. Platform seperti TikTok, YouTube, dan Instagram memiliki kekuatan besar dalam membentuk tren budaya. Namun sayangnya, algoritma lebih menyukai yang viral bukan yang bernilai. Akibatnya, konten budaya lokal sering kali kalah pamor dibanding hiburan ringan atau tren global.

Krisis budaya ini melahirkan generasi yang “global secara gaya, tapi kosong secara jati diri.” Mereka mengenal Hanbok dari drama Korea, tapi tidak tahu makna Batik Parang dari daerahnya sendiri. Inilah bentuk krisis identitas baru: ketika akar budaya kita terseret oleh logika trending topic.

Saat Budaya Beradaptasi: Dari Panggung Desa ke Layar Ponsel

Meski begitu, bukan berarti budaya lokal kalah total. Banyak komunitas muda kini berinovasi mengemas budaya dalam format digital. Contohnya, generasi Gen Z di Jawa Tengah membuat konten tari tradisional versi modern yang viral di TikTok; komunitas di Sumatera Barat membuat game edukasi berbasis cerita rakyat Minangkabau; dan desainer muda mengangkat motif tenun lokal ke dalam tren fesyen streetwear.

Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya lokal bisa bertahan, asal mau berubah bentuk tanpa kehilangan nilai. Budaya yang mampu menyesuaikan diri dengan konteks zaman tidak akan punah justru akan hidup lebih lama karena terus diperbarui oleh generasi penerusnya.

Revitalisasi Budaya: Bukan Sekadar Melestarikan, Tapi Menghidupkan

Pelestarian budaya bukan hanya soal menjaga benda pusaka, tetapi juga menghidupkan nilai dan makna di baliknya. Ada tiga langkah strategis agar budaya lokal tetap relevan di era global:

 

  1. Pendidikan berbasis kearifan lokal. Sekolah tidak cukup hanya mengajarkan budaya lewat teori, tapi juga pengalaman. Misalnya, proyek seni berbasis tradisi lokal atau pembelajaran bahasa daerah dengan media kreatif.
  2. Kolaborasi lintas generasi. Orang tua dan tokoh adat membawa nilai, anak muda membawa inovasi. Jika keduanya bersatu, budaya lokal bisa lahir kembali dengan napas baru.
  3. Digitalisasi budaya. Dokumentasi digital, museum virtual, dan festival daring menjadi cara baru mengenalkan budaya lokal kepada dunia. Internet bukan musuh budaya ia bisa menjadi panggung global bagi kearifan lokal.

Kesimpulan: Budaya Lokal, dari Warisan Menjadi Perlawanan

Budaya lokal bukan sekadar kenangan masa lalu, tetapi strategi bertahan hidup bangsa di tengah dunia yang seragam. Ketika globalisasi menuntut keseragaman, budaya lokal justru mengajarkan keberagaman. Ketika algoritma menilai dari popularitas, budaya lokal menilai dari makna.

Kini saatnya kita berhenti mengeluh budaya kian hilang dan mulai menghidupkannya kembali dengan cara yang relevan. Karena di balik setiap bahasa daerah, tarian, dan tradisi, tersimpan DNA bangsa yang tak tergantikan oleh tren global mana pun. Jika akar budaya hilang, bangsa akan tumbang. Tapi jika kita menjaganya, budaya lokal tak hanya bertahan ia akan bersinar di panggung dunia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image