Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image fiantya ramadhani

Realita Pahit Sandwich Generation

Lifestyle | 2025-11-10 17:40:03

Coba bayangkan, di satu sisi ada orang tua yang menua dengan kebutuhan kesehatan yang semakin meningkat. Di sisi lain, ada anak-anak yang membutuhkan biaya sekolah, perhatian, dan kasih sayang tanpa henti. Dan di tengahnya, ada kamu yang berusaha menyeimbangkan segalanya, berjuang agar semuanya tetap berjalan tanpa tahu siapa yang benar-benar menopangmu.

Fenomena ini dikenal dengan istilah Sandwich Generation, yaitu generasi yang menanggung dua beban sekaligus, seperti merawat orang tua dan membiayai anak. Sekilas terdengar sebagai wujud bakti yang mulia, namun di baliknya ada perjuangan besar yang jarang terlihat, seperti tekanan finansial, kelelahan emosional, dan rasa tanggung jawab yang seolah tak pernah berakhir.

Banyak yang tidak menyadari bahwa posisi ini bisa menimbulkan beban psikologis cukup berat. Ketika kamu terus dipaksa menjadi “pahlawan” tanpa ruang untuk bernapas, kelelahan bisa datang tanpa disadari. Perlahan, semangat memberi bergeser menjadi kewajiban yang menekan psikologismu.

Tantangan yang dihadapi Sandwich Generation

Ilustrasi Sandwich Generation

1. Finansial yang terbagi dua arah

Sumber daya utama yang paling terasa adalah uang. Orang tua kamu mungkin membutuhkan biaya untuk berobat, kontrol rutin, atau kebutuhan mendadak lainnya. Rasanya lega setiap kali kamu bisa membantu mereka. Namun di saat bersamaan, anak-anak pun memiliki kebutuhan yang tak kalah banyak, contoh uang sekolah, perlengkapan belajar, hingga hal-hal kecil agar tak merasa tertinggal dari teman-temannya. Sayangnya, kemampuan finansial kamu tidak bisa berkembang secepat tuntutan yang datang dari dua arah. Akibatnya, banyak anggota Sandwich Generation yang terjebak dalam dilema antara memprioritaskan orang lain atau kebutuhan sendiri.

2. Lelah tapi harus tetap kuat

Masalahnya bukan hanya soal uang. Waktu, tenaga, dan emosi juga terkuras habis.Waktu untuk diri kamu sendiri bahkan terasa seperti kemewahan. Sekadar duduk santai, menonton film, atau menikmati kopi tanpa distraksi sering kali tertunda karena selalu ada hal yang harus diurus. Kalau terus dibiarkan, kondisi ini bisa memicu burnout, rasa lelah fisik dan mental yang sulit dijelaskan tapi nyata kamu rasakan.

3. Tekanan sosial dan rasa bersalah

Kamu mungkin sering merasa harus selalu siap membantu, karena takut dianggap anak yang tidak berbakti. Di sisi lain, orang tua kamu mungkin belum terbiasa memahami batas kemampuan anaknya. Akhirnya, muncul rasa bersalah setiap kali kamu tidak mampu memenuhi harapan mereka. Padahal, berbakti tidak seharusnya berarti kehilangan keseimbangan hidup dan kebahagiaan diri sendiri.

Tips bertahan di tengah tekanan

1. Buka komunikasi tentang keuangan

Keterbukaan jadi langkah awal yang penting. Jangan memikul semua beban sendirian. Bicarakan dengan pasangan atau keluarga mengenai kondisi keuangan dan tanggung jawab masing-masing. Dengan begitu, kamu bisa membangun kesepahaman dan menghindari salah paham. Kadang, kejujuran kecil bisa meringankan beban besar yang kamu rasakan.

2. Tetapkan prioritas dan batas

Tidak semua hal harus kamu tanggung sendiri. Belajar mengatakan “belum bisa” atau “tidak” bukanlah bentuk egoisme, tapi wujud sayang terhadap diri kamu sendiri. Fokuslah pada hal yang paling mendesak dan realistis. Mengatur prioritas bukan berarti abai terhadap keluarga, tapi menjaga agar bantuanmu tetap berkelanjutan tanpa mengorbankan kesejahteraan pribadi.

3. Sisihkan waktu untuk diri sendiri

Meski kamu sibuk mengurus semua orang, jangan lupakan kebutuhan pribadi. Waktu istirahat, jajan kecil, atau sekadar berjalan sore bisa jadi bentuk sederhana dari self-care. Kamu tidak bisa terus berusaha menjadi yang terbaik untuk orang lain kalau dirimu sendiri kosong dan lelah. Mengisi ulang energi adalah bagian dari tanggung jawab yang sama pentingnya.

4. Bangun dan cari support system ternyaman

Kamu tidak harus kuat sendirian. Ceritakan perasaanmu pada teman yang kamu percaya, bergabung dengan komunitas yang memahami situasi serupa, atau sekadar membaca kisah orang lain yang juga sedang berjuang seperti kamu. Validasi kecil dari orang lain bisa memberikan kekuatan besar untuk survive.

Refleksi

Menjadi bagian dari Sandwich Generation bukanlah hal yang mudah. Di satu sisi, kamu ingin berbakti dan merawat orang tua dengan sepenuh hati. Di sisi lain, ada tanggung jawab besar untuk membesarkan anak-anak dan memastikan masa depan mereka lebih baik. Namun di tengah dua kutub itu, jangan sampai kamu sendiri terabaikan.

Berbakti tidak selalu berarti mengorbankan seluruh waktu, tenaga, dan kebahagiaan. Justru dengan belajar menyeimbangkan antara memberi dan menjaga diri, kamu bisa tetap berperan tanpa kehilangan arah.Bentuk bakti yang sesungguhnya bukanlah ketika kamu mengabaikan diri demi orang lain, melainkan ketika kamu mampu menopang orang-orang tercinta sambil tetap menjaga kesejahteraan diri sendiri.

✨ Yuk, refleksi bersama!

Apakah kamu juga berada di posisi Sandwich Generation saat ini? Atau mengenal seseorang yang sedang berjuang dalam situasi yang sama?Bagikan kisahmu di kolom komentar, ya, siapa tahu ceritamu bisa menjadi penguat bagi mereka yang tengah menghadapi hal serupa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image