Curhat ke AI Mempengaruhi Perilaku Konsumen dan Masa Depan Pemasaran Digital
Bisnis | 2025-11-09 14:02:37Kita hidup di era ketika kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) bukan lagi sekadar alat bantu kerja, tetapi juga teman bercerita. Banyak orang kini merasa nyaman mencurahkan isi hati kepada chatbot. Mereka menemukan ruang aman untuk mengungkapkan perasaan tanpa takut dihakimi, sekaligus mendapatkan respons yang hangat dan suportif. Fenomena “curhat ke AI” ini memperlihatkan bahwa teknologi telah melampaui fungsi rasionalnya: dari sekadar mesin pintar menjadi ruang emosional digital.
Fenomena ini bukan sekadar kesan semata. Laporan Kantar (2024) terhadap 10.000 responden menunjukkan bahwa 42% pengguna Gen Z menggunakan AI untuk dukungan emosional. Character.AI (2023) mencatat lebih dari 60% percakapan penggunanya bersifat personal dan emosional. Bahkan, riset Accenture (2023) menemukan bahwa 36% konsumen merasa AI memahami mereka lebih baik dibanding manusia. Data ini menggambarkan bagaimana hubungan manusia dan teknologi kini mulai melibatkan aspek empati digital.
Dari sisi psikologis, fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori Self-Disclosure (Altman Taylor, 1973) yang menyebutkan bahwa seseorang lebih mudah membuka diri saat merasa amandari penilaian. Chatbot dengan respons netral memberi ruang tersebut. Sementara itu, Theory of Planned Behavior (Ajzen, 1991) menekankan bahwa sikap positif terhadap AI, norma sosial, dan persepsi kemudahan penggunaan turut memengaruhi keputusan seseorang untuk menjadikan AI sebagai tempat curhat. Ditambah lagi, Technology Acceptance Model (Davis, 1989) menjelaskan bahwa semakin tinggi persepsi kemudahan dan manfaat suatu teknologi, semakin besar pula penerimaannya yang kini berkembang menuju konsep perceived empathy, yaitu persepsi bahwa teknologi mampu “merasakan” emosi penggunanya.
Dampaknya terhadap dunia pemasaran digital tidak bisa diabaikan. Penelitian University of Florida (2023) menunjukkan bahwa rekomendasi berbasis konteks emosional dari AI dapat meningkatkan niat membeli konsumen secara signifikan (β = 0,35; p 0,001). Konsumen masa kini tidak lagi sekadar mencari “produk terbaik”, tetapi “produk yang cocok dengan kondisi emosional mereka saat ini”. Perubahan ini menggeser pola pengambilan keputusan dari yang rasional menuju emotion-assisted decision-making. Di sinilah peluang bagi pemasar untuk membangun emotional engagement yang lebih kuat dengan konsumen melalui interaksi berbasis empati digital.
Namun, potensi besar ini datang bersama risiko yang tidak kecil. Penggunaan AI sebagai tempat bercerita membuka persoalan etika: mulai dari privasi data emosional hingga kemungkinan manipulasi psikologis melalui rekomendasi produk yang terlalu personal. MIT (2024) bahkan menemukan bahwa interaksi intensif dengan chatbot emosional dalam jangka panjang dapat memunculkan rasa kesepian. Maka, keseimbangan antara inovasi dan tanggung jawab etis menjadi kunci agar teknologi tetap humanis.
Pada akhirnya, masa depan pemasaran tidak hanya ditentukan oleh kemampuan teknologi mengolah data, tetapi juga sejauh mana pemasar memahami sisi emosional manusia. Merek yang mampu menggabungkan teknologi, empati, dan etika akan lebih siap menghadapi konsumen di era AI. Mereka yang bukan sekadar angka di layar, melainkan individu yang ingin dimengerti dan dihargai.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
