Kabur Aja Dulu: Mengapa Gen Z Ingin Tinggalkan Indonesia?
Politik | 2025-11-08 16:09:41Smartphone merupakan benda penting dalam kehidupan yang serba digital ini. Banyak hal dapat dilakukan melalui perangkat tersebut, mulai dari bertukar informasi hingga menyimpan berbagai hal penting seperti data pribadi, uang, dan catatan harian. Namun, tak lupa juga kita perlu membatasi penggunaannya karena benda kecil ini dapat memberikan bahaya jika kita menggunakannya secara sembarangan. Oleh karena itu, penting untuk mengingatkan masyarakat, terutama anak-anak dan remaja, agar mampu memanfaatkan peluang yang ada tanpa terpapar risikonya (Böttger, Poschik, & Zierer, 2023). Salah satu bentuk pemanfaatan positif smartphone adalah memperbarui informasi terkini yang sedang terjadi di Indonesia, kemudian mendiskusikannya melalui media sosial. Dengan cara ini, masyarakat dapat bertukar pikiran antarindividu sehingga memperoleh pengetahuan baru.
Salah satu hal yang belakangan ini ramai diperbincangkan di media sosial adalah Fenomena “Kabur Aja Dulu.” Ungkapan ini muncul sebagai simbol keresahan generasi Z terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Banyak generasi Z merasa masa depan di tanah air semakin tidak pasti: biaya hidup melonjak, lapangan kerja terbatas, dan kepercayaan terhadap pemerintah menurun. Di platform seperti X (Twitter) dan TikTok, tagar #KaburAjaDulu sempat menjadi trending topic. Ratusan pengguna berbagi kisah dan alasan mengapa mereka ingin mencari kehidupan baru di luar negeri. Sebagian dari mereka menilai sistem di Indonesia belum berpihak pada mereka. Banyak lulusan sarjana hingga magister yang masih kesulitan dalam mencari pekerjaan, sehingga membuat mereka mempertimbangkan tinggal di negara lain yang dianggap lebih layak.
Fenomena Lama dengan Wajah Baru
“Kabur Aja Dulu” bukanlah hal yang baru. Fenomena ini serupa dengan brain drain, yakni kondisi ketika individu berpotensi tinggi memilih meninggalkan negaranya sendiri karena menilai peluang karier dan kesejahteraan lebih baik di luar negeri (Shakir et al., 2024). Namun, di era digital, fenomena ini semakin mudah menyebar karena masyarakat menjadikan media sosial menjadi tempat sehari-hari untuk bertukar informasi. Ketika mereka melihat kehidupan WNI di luar negeri melalui konten video yang viral, muncul persepsi bahwa “hidup di sana lebih mudah dan teratur”.
Tidak hanya ada satu alasan mengapa gen-Z membuat hashtag #KaburAjaDulu, terdapat berbagai hal yang mendorong mereka akhirnya menyuarakan hal ini, diantaranya:
- Kekecewaan terhadap maraknya korupsi. Data terbaru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa hingga Agustus 2025, terdapat lebih dari 1.700 kasus korupsi yang ditangani, dengan jumlah tertinggi berasal dari pemerintahan daerah. Meski upaya pemberantasan terus dilakukan, data ini memperkuat persepsi publik bahwa korupsi di Indonesia belum tertangani secara tuntas (Shahibah, 2025)
- Tekanan ekonomi serta tingginya biaya hidup yang tidak sebanding dengan penghasilan menjadi salah satu faktor penyebab ketimpangan sosial. Banyak pekerja, seperti guru honorer, masih menerima gaji di bawah upah minimum regional (UMR). Sementara itu, masyarakat menilai bahwa pekerjaan di luar negeri mendapatkan gaji yang setimpal dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Situasi ini diperparah oleh isu kenaikan gaji pejabat di tengah kesulitan ekonomi rakyat, yang memicu gelombang protes dan demonstrasi di berbagai daerah. Aksi tersebut bahkan menimbulkan korban jiwa akibat kelalaian aparat kepolisian. Akibatnya, unjuk rasa semakin meluas dan berlangsung selama beberapa hari, menimbulkan kekacauan yang makin memanas.
- Keinginan untuk memperoleh kehidupan dan menempuh karier yang lebih baik di luar negeri menjadi salah satu faktor kuat yang mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, untuk bermigrasi. Fenomena ini semakin diperkuat oleh pengaruh media sosial yang menampilkan berbagai konten mengenai kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan disini, dan melihat lingkungan di luar negeri dianggap lebih menjanjikan. Diskusi yang ramai di platform seperti X (Twitter) berisi opini positif terhadap kehidupan di luar negeri. Akses pekerjaan yang lebih mudah dan gaya hidup yang terlihat lebih bebas dan mapan tersebut dirasa sangat cocok dengan karakter generasi Z hidup di era digital ini.
Melawan Arus Pesimisme
Meskipun banyak muncul pandangan pesimis terhadap kondisi dalam negeri, tidak semua generasi Z memilih untuk pergi ke luar negeri. Sebagian justru memandang situasi ini sebagai kesempatan untuk berinovasi dan berkontribusi di tanah air. Banyak dari mereka yang mulai terlibat dalam kegiatan sosial seperti mengikuti volunteer, atau berperan aktif melalui komunitas digital yang positif. Fenomena ini juga terlihat di media sosial, di mana sejumlah figur public seperti selebgram mulai berupaya memperbaiki kondisi negara dengan memberikan bantuan langsung ke daerah-daerah terpencil. Meskipun langkah-langkah tersebut belum sepenuhnya mendapat dukungan dari pemerintah, tindakan positif seperti ini layak diapresiasi. Upaya mereka mencerminkan semangat untuk mewujudkan visi “Indonesia Emas” dengan berjuang dan berkontribusi dari dalam negeri, daripada meninggalkannya.
Fenomena “Kabur Aja Dulu” mencerminkan bentuk kegelisahan yang wajar di tengah ketidakstabilan ekonomi dan kondisi politik yang selalu bermasalah. Oleh karena itu, pemerintah perlu merangkul generasi Z sebagai penerus masa depan bangsa. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan sistem pemerintahan yang lebih transparan, adil, dan bebas dari praktik korupsi. Meskipun sebagian generasi Z mungkin memandang hal ini sulit terwujud, namun apabila pemerintah mulai “membuka mata” dan menunjukkan keseriusan untuk memperbaiki kondisi di Indonesia, maka kepercayaan generasi muda akan tumbuh. Dengan demikian, harapan untuk membangun “Indonesia Emas” bukanlah hal yang mustahil.
Kesimpulan
Ternyata, fenomena "Kabur Aja Dulu" bukan sekadar tren yang diikuti oleh gen Z. Ada segudang alasan yang mendasarinya. "Keluar" tidak selalu berarti berkhianat, dan "tetap" tidak selalu menunjukkan sikap nasionalis. Di balik peristiwa ini, terdapat pesan yang lebih dalam: generasi muda menginginkan perubahan yang nyata. Mereka tidak hanya ingin hidup dengan nyaman, tetapi juga ingin hidup dalam sistem yang adil, bersih, serta memberi kesempatan bagi potensi mereka untuk berkembang. Mungkin Gen Z tidak sedang kabur dari Indonesia. Mereka sedang mencari versi Indonesia yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA:
Böttger, T., Poschik, M., & Zierer, K. (2023). Does the Brain Drain Effect Really Exist? A Meta-Analysis. Behavioral Sciences, 13(9), 751. https://doi.org/10.3390/bs13090751
Shahibah, A. (2025, Agustus 19). Prabowo: Korupsi ada di setiap eselon birokrasi kita, ini datanya. GoodStats Data. https://data.goodstats.id/statistic/prabowo-korupsi-ada-di-setiap-eselon-birokrasi-kita-ini-datanya-ObiCb
Shakir, M., Altaf, A., Irshad, H., Akbar Khan, M., & Enam, S. A. (2024). Brain drain: A cross-sectional study evaluating migration intentions of neurosurgery trainees in Pakistan. Asian Journal of Neurosurgery, 19(2), 160–167. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11226287/
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
