Dilema Etika di Era Generative AI: Saat Profesionalisme Diuji
Teknologi | 2025-11-08 13:57:40Dilema Etika di Era Generative AI: Saat Profesionalisme Diuji
Oleh: Revaldo Ramadana
Mahasiswa Program Studi Informatika, Universitas Muhammadiyah Malang
Ketika teknologi semakin cerdas, manusia justru dihadapkan pada pertanyaan yang lebih sulit: masihkah kita dibutuhkan? Pertanyaan itu kini menjadi nyata di tengah pesatnya perkembangan Generative Artificial Intelligence (AI) kecerdasan buatan yang mampu menulis, menggambar, membuat musik, bahkan mengambil keputusan kompleks layaknya manusia.
Laporan terbaru Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pada Juli 2023 memperingatkan bahwa 27% pekerjaan di negara-negara maju berisiko digantikan oleh AI. Angka ini bukan sekadar statistik — ini adalah alarm bagi dunia kerja global, termasuk Indonesia, untuk bersiap menghadapi pergeseran besar dalam cara kita bekerja dan memahami makna profesionalisme.
Ketika Otomatisasi Menyentuh Ranah Kreatif
Dulu, ancaman otomatisasi identik dengan pekerjaan fisik: buruh pabrik, operator mesin, atau sopir. Kini, dengan hadirnya generative AI, profesi yang selama ini dianggap “khas manusia” pun mulai terancam. Jurnalis, desainer grafis, penerjemah, bahkan pengacara kini bersaing dengan algoritma yang bisa menulis, merancang, dan menganalisis dalam hitungan detik.
OECD mencatat bahwa negara-negara seperti Polandia, Republik Ceko, dan Hungaria menjadi yang paling rentan karena lebih dari sepertiga pekerjaan di sana dapat dengan mudah diotomatisasi. Namun, bukan berarti negara lain aman. Justru negara dengan tingkat digitalisasi tinggi bisa lebih cepat mengalami disrupsi.
Fenomena ini menimbulkan dilema etika baru: apakah menggantikan manusia dengan AI demi efisiensi adalah tindakan yang benar? Ataukah kita sedang membuka jalan bagi krisis identitas profesional, di mana kemampuan manusia dianggap kalah nilai dibanding kecepatan mesin?
Profesionalisme di Tengah Krisis Keaslian
Dalam dunia kerja modern, profesionalisme bukan hanya soal keahlian teknis, tetapi juga integritas, tanggung jawab, dan keaslian karya. Kehadiran AI yang mampu meniru gaya manusia menantang makna dari semua itu.
Bayangkan seorang desainer yang menggunakan AI untuk membuat konsep logo klien, lalu mengklaim hasilnya sebagai karya orisinal. Secara efisien, ia mungkin unggul. Namun, secara etis, ada pelanggaran terhadap kejujuran profesional. Hal serupa juga mulai dirasakan di dunia pendidikan. Ketika mahasiswa bisa menulis esai atau skripsi dengan bantuan ChatGPT, muncul pertanyaan besar: apakah kita masih belajar berpikir, atau hanya belajar mengetik prompt?
ACM (Association for Computing Machinery), dalam kode etiknya, menegaskan bahwa setiap profesional teknologi harus menjaga kejujuran dan tanggung jawab sosial dalam penggunaan teknologi. Namun, garis batas antara bantuan dan ketergantungan kini semakin kabur. Ketika AI membantu menyusun ide, lalu manusia yang mengeksekusi, siapa sebenarnya yang layak disebut pencipta?
Manfaat Nyata: AI Sebagai Mitra, Bukan Pengganti
Meski penuh risiko, AI tidak semestinya dilihat sebagai musuh. OECD juga mencatat bahwa dua pertiga pekerja yang sudah menggunakan AI justru merasa pekerjaannya menjadi lebih aman dan tidak melelahkan. Otomatisasi membantu mengurangi tugas berulang, memberi ruang bagi manusia untuk fokus pada aspek kreatif, emosional, dan strategis — sesuatu yang masih sulit ditiru mesin.
Dalam konteks ini, AI seharusnya menjadi co-worker, bukan replacement. Para profesional yang etis harus mampu menempatkan AI sebagai alat bantu produktivitas, bukan jalan pintas untuk menghindari proses berpikir.
Seorang dokter, misalnya, bisa memanfaatkan AI untuk menganalisis citra medis lebih cepat, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan manusia. Begitu pula seorang jurnalis dapat memakai AI untuk menelusuri data, namun interpretasi dan narasi tetap hasil dari intuisi manusia. Intinya, AI can enhance professionalism — if professionalism remains human-driven.
Tantangan Etika yang Tak Bisa Didelegasikan ke Mesin
Generative AI tidak memiliki nilai moral. Ia hanya mereplikasi data dan pola yang sudah ada. Maka, tanggung jawab etika sepenuhnya ada di tangan manusia yang menggunakannya. Di sinilah ujian terbesar profesionalisme era digital: apakah kita mampu tetap jujur, transparan, dan bertanggung jawab di tengah godaan efisiensi instan?
Isu lain yang mencuat adalah bias dan penyalahgunaan data. Banyak model AI dilatih dari data publik tanpa izin eksplisit, termasuk karya seni, tulisan, atau bahkan data pribadi. Ketika profesional menggunakan AI tanpa memahami sumber datanya, mereka bisa tanpa sadar melanggar hak cipta atau etika privasi. Inilah sebabnya mengapa literasi digital dan etika teknologi harus menjadi bagian penting dalam kurikulum pendidikan tinggi dan pelatihan kerja. Profesional masa depan bukan hanya dituntut untuk melek teknologi, tetapi juga melek moral.
Refleksi: Menjadi Profesional di Era AI
Sebagai mahasiswa yang tumbuh di masa ini, saya melihat generative AI seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memberi peluang besar untuk berinovasi, mencipta, dan mempercepat proses belajar. Di sisi lain, ia menguji kejujuran intelektual kita.
Mungkin di masa depan, sertifikat keahlian teknis akan kurang berarti dibanding reputasi etis seseorang. Dunia kerja akan mencari individu yang bukan hanya cerdas, tapi juga berprinsip. Maka, menjadi profesional di era AI bukan lagi sekadar soal kemampuan adaptasi, tetapi soal komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan. Seperti yang ditegaskan oleh OECD, kunci masa depan bukanlah menolak AI, melainkan mempersiapkan manusia untuk beradaptasi secara etis dan cerdas. Profesional sejati bukan yang paling cepat meniru, tapi yang paling bertanggung jawab menggunakan pengetahuan.
Penutup
AI akan terus berkembang. Namun, manusia tetap memiliki satu hal yang tak bisa direplikasi: hati nurani. Di tengah derasnya arus inovasi, profesionalisme sejati justru diuji — bukan pada seberapa jauh kita bisa menggunakan AI, tetapi seberapa bijak kita menentukannya tidak menggantikan kemanusiaan kita sendiri.
Referensi
- OECD. (2023, 12 Juli). 27% Pekerjaan Berisiko Digantikan oleh AI.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
